Materi Kemuhammadiyahan SD Kelas VI Semester II
MATERI KEMUHAMMADIYAHAN KELAS VI
SD MUHAMMADIYAH LIMPUNG
SEMESTER II
BAB III
Biografi KH Mas Mansyur (Ketua Muhammadiyah 1937 - 1941).
Bagian I
KH. Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni
1896 di Surabaya. Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal
dari keluarga Pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Ayahnya bernama K.H.
Mas Ahmad Marzuqi, seorang pioneer Islam, ahli agama yang terkenal di
Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi
Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung
Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat pada saat itu.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada
ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo dengan
Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia
sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan,
Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur‘an dan mendalami kitab Alfiyah
ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana, kurang lebih dua
tahun, Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren
itu dan pulang ke Surabaya.
Sepulang dari Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh
orang tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada
Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas, Jawa Tengah. Setelah
kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya
pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Sultan Syarif Hussen, mengeluarkan
instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat
sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir, karena
citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat
bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansur tetap melaksanakan
keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup —karena
tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya
hidup— harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis
dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung
kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana
untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar
pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya
membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan.
Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun
pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan
yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di
Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu
dia singgah kembali ke Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang
ke Indonesia.
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah
dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari
rumahnya. Ia menikah pada tahun 1916. Dari hasil pernikahannya itu, mereka
dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh,
Ibrahim dan Luk-luk. Disamping menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga menikah
dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung
lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Peran KH. Mas Mansur Sebagai Kader Muhammadiyah
Sebelum Muhammadiyah Cabang Surabaya didirikan, K.H. Ahmad Dahlan
sudah sering melakukan tabligh ke daerah ini. Tabligh-tabligh itu dilaksanakan
berupa pengajian yang diselenggarakan di Peneleh, Surabaya. Dalam
pengajian-pengajian itulah Bung Karno muda dan Roeslan Abdul Gani muda, untuk
pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang ajaran Islam dari K.H. Ahmad
Dahlan.
Setiap melaksanakan tabligh di Surabaya, K.H. Ahmad Dahlan biasanya
bermalam di penginapan. Namun, suatu malam ia didatangi seorang tamu yang
memintanya agar setiap K.H. Ahmad Dahlan ke Surabaya bersedia untuk menginap di
rumahnya. Tamu itu ialah Kiai Haji Mas Mansur. Mas Mansur selalu mengikuti
pengajian yang diberikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dan ia sangat tertarik oleh
isi kajian yang diberikannya, serta tertarik juga akan kesederhanaannya.
Keterlibatan KH. Mas Mansur di Muhammadiyah dimulai pada tahaun 1921. Dalam
waktu singkat ia dipercaya sebagai ketua cabang Surabaya, kemudian menjadi
konsul Muhammadiyah Jawa Timur. Puncaknya ketika beliau terpilh menjadi
Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937-1943. Mas Mansur
dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah
ke-26 di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937. Sejak saat itu beliau menetap di Yogyakarta,
bertempat di Madrasah Muallimin Yogyakarta. Ia juga diangkat menjadi direktur
sekaligus ketua asrama dan mengajar di Madrasah Muallimin Yogyakarta.
Pemikiran dan Kiprah KH. Mas Mansur
Penggagas Lahirnya Majelis Tarjih
Kongres ke-16 Muhammadiyah di Pekalongan pada tahun 1927 berjalan lancar
dan sukses. Salah satunya hasilnya ialah, Majelis Tarjih, yang didirikan atas
dasar keputusan Kongres atas usulan dari KH Mas Mansur yang mana pada saat itu
periode kepengurusan KH Ibrahim (1978-1934) yang menjadi Ketua Hoofdbestuur
Muhammadiyah kedua sesudah KH Ahmad Dahlan (1868-1923). (Pak AR, Menuju
Muhammadiyah 1984).
Alasan KH Mas Mansur mendirikan Majelis Tarjih adalah guna mencegah
timbulnya percekcokan dan perselisihan masalah-masalah agama di kalangan
Muhammadiyah, sebab hal itu akan menghambat jalannya kemajuan organisasi, serta
meretakkan ukhuwah Islamiyah. Disamping itu, untuk mencegah timbulnya
penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan pribadi (Mustofa Kamal Pasha,
1984).
Kini, diusianya yang sudah menginjak seabad, Majelis Tarjih (kini, Majelis
Tarjih dan Tajdid) dalam menanggapi soal-soal keagamaan telah menghasilkan
Himpunan Putusan Tarjih ke-3 yang memuat soal-soal keagamaan praktis tentang
taharah, sholat, zakat, ibadah haji, dan lain sebagainya. Selain itu, Majelis
Tarjih dan Tajdid juga merespon isu-isu kekinian seperti yang sudah diterbitkan
yaitu fikih anti korupsi, fikih air, fikih tata kelola, fikih informasi, fikih
perlindungan anak, dan yang tidak kalah menarik yang sedang dalam kajian dan
bahasan adalah mengenai fikih difabel, dan fikih demokrasi.
Kiprah
dan Kepemimpinan KH. Mas mansur ditandai dengan kebijaksanaan baru yang
disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Langkah 12 KH. Mas Mansur
berfungsi sebagai pedoman pembinaan iman dan akhlak bagi pimpinan dan anggota
Muhammadiyah.
Tafsir 12 Langkah
Muhammadiyah Tahun 1940 (Oleh KH. Mas Mansyur) adalah Sebagai Berikut:
1. Memperdalam Iman
Hendaklah iman ditablighkan, disiarkan seluas-luasnya, diberi riwayat dan
dalil buktinya, dipengaruhnya dan digembirakan hingga iman itu mendarah daging,
masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari pada anggota Muhammadiyah
semuanya.
2. Memperluas Faham Agama
Hendaklah faham agama yang sesungguhnya (murni) dibentangkan
seluas-luasnya, diujikan dan diperbandingkan, sehingga para anggota
Muhammadiyah mengerti dan meyakinkan bahwa Agama Islam yang paling benar,
ringan dan berguna, hingga merasa nikmat mendahulukan amalan keagamaan itu.
3. Menghasilkan Budi Pekerti
Hendaklah iman ditablighkan, disiarkan seluas-luasnya, diberi riwayat dan
dalil buktinya, dipengaruhnya dan digembirakan hingga iman itu mendarah daging,
masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari pada anggota Muhammadiyah
semuanya.
4. Menuntun Amalan Intiqad (Menuju
Perbaikan Dan Kesempurnaan)
Hendaklah senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self correctio)
dalam segala usaha dan pekerjaan itu. Buah penyelidikan perbaikan itu
dimusyawarahkan secara khusus untuk mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan
mudarat.
5. Menguatkan Persatuan
Hendaklah menjadi tujuan kita menguatkan persatuan organisasi, mengokohkan
pergaulan persaudaraan, mempersamakan hak dan memerdekakan lahirnya
pikiran-pikiran kita.
6. Menegakkan Keadilan
Hendaklah keadilan dijalankan semestinya walaupun terhadap diri sendiri,
dan ketetapan yang sudah seadilnya dan dipertahankan di mana juga.
7. Melakukan Kebijaksanaan
Dalam gerak kita, tidaklah melupakan hikmat kebijaksanaan yang disendikan
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Kebijaksanaan yang menyalahi kedua
pegangan itu haruslah dibuang, karena itu bukanlah kebijaksanaan yang
sesungguhnya.
8. Menguatkan Tanwir
Tanwir mempunyai pengaruh besar dalam kalangan organisasi Muhammadiyah dan
menjadi tangan kanan yang bertenaga di sisi PP Muhammadiyah. Karenanya wajiblah
Tanwir diperteguh dan diatur sebaik-baiknya.
9. Mengadakan Konferensi Bagian
Untuk mengadakan garis yang tentu dalam langkah-langkah dan perjuangan
kita, hendaklah diadakan musyawarah-musyawarah terutama untuk hal yang khusus
dan penting seperti Usaha Dakwah Islam di seluruh Indonesia dan lain-lain.
10. Memusyawaratkan Putusan
Agar dapat meringankan dan memudahkan pekerjaan, hendaklah setiap putus
mengenai tiap-tiap majlis/bagian, dimusyawarahkan dengan pihak yang
bersangkutan, sehingga dapatlah mentanfidzkannya untuk mendapatkan hasil dengan
segera.
11. Mengawasi Gerakan Ke Dalam
Pandangan kita hendaklah kita tajamkan, mengawasi gerak kita yang ada di
dalam Muhammadiyah, baik mengenai yang sudah lalu, yang masih berlangsung
maupun yang akan dihadapi.
12. Menjalin Hubungan Dengan Gerakan
Luar
Kita berdaya upaya untuk menghubungkan diri dengan pihak luar, seperti persyarikatan-persyarikatan dan
pergerakan-pergerakan lain di Indonesia dengan dasar silaturrahim,
tolong-menolong dan segala kebaikan, dengan tidak mengubah asas masing-masing.
Terutama perhubungan dengan persyarikatan dan pemimpin Islam.
Karya-Karya
KH. Mas Mansur
Mas Mansur juga banyak menghasilkan
tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya dimuat di media
massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata santri
digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat
digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, majalah Suara Santri mendapat sukses
yang gemilang. Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah
diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan
menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab (pegon). Kedua majalah tersebut
merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak
para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan.
Melalui majalah itu, Mas Mansur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan
kemusyrikan dan kekolotan. Selain itu, Mas Mansur pernah menjadi redaktur
majalah Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah
dimuat di majalah Siaran dan majalah Kentungan di Surabaya; Penganjur dan Islam
Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di
Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide dan
gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadis Nabawiyah; Syarat Syahnya
Nikah; Risalah Tauhid dan Syirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Kedisiplinan KH. Mas Mansur
Sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur bertindak disiplin dalam
berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat
pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah.
Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali
menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansur
selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin
organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri
beserta segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk
menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya
untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
KH.
Mas Mansur juga merumuskan adab-adab dalam bermusyawarah. Merujuk tulisan KH
Mas Mansyur, Adab Bermusyawarah dibagi 3 bagian :
- Adab Sebelum Bermusyawarah, Antara Lain:
a.
Datang ke rempat musyawarah sebelum waktu yang ditentukan, agar
musyawarah itu dapat dibuka tepat waktu.
b.
Jangan lupa membawa surat undangan, dengan demikian kita tahu
agenda yang akan dibahas, dan juga sebagai bukti bahwa kita termasuk anggota
musyawarah.
c.
Datang ke tempat musyawarah dengan pakian yang baik-rapi, dan
sebaiknya juga memakai bau-bauan yang sedap.
d.
Semuanya itu diawali dengan Niat yang baik dan benar, yaitu apa yang
akan dilakukan dalam musyawarah itu diniati untuk kemaslahatan bersama dan
karena Allah swt. Teringat kita pada pernyataan Rasulullah Saw. dalam hadits
riwayat imam Ahmad: “Tidaklah lurus Iman seseorang hingga lurus hatinya,dan
tidaklah lurus hatinya hingga lurus lisannya”.
- Adab Dalam Bermusyawarah:
- Musyawarah dibuka dengan do’a yang diawali baca “Bismillah”, dan sebaiknya dilanjutkan dengan baca do’a dalam Q.S. Thoha, ayat 25-28: ”Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku. Dan mudahkanlah untukku urusanku. Dan lepaskanlah kekauan dari lidahku. Supaya mereka mengerti ( memahami ) perkataanku”.
- Mengendalikan lisan, pikirkanlah secara matang apa yang akan disampaikan.
- Sikap menyampaikan pendapat dalam musyawarah yang perlu di-perhatikan adalah : Pembicaraan dalam musyawarah adalah untuk mencari jalan hikmah yang terbaik-dan benar, mencari titik temu, dan membuahkan hasil sebuah kesepakatan yang akan dijalankan bersama. Oleh karena itu, maka :
•
Hindari sikap Mendominasi pembicaraan, hanya karena ingin dikenal
pandai bicara dan luas wawasannya, hal ini merupakan ketamakan. Rasulullah
memperingatkan bahwa ,
“ Dan
sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh ma-jelisnya dari ku
pada hari kiamat adalah orang-orang yang berlebihan dalam bicara, juka suka
mengungguli orang lain dengan perkataannya, dan yang menunjuk-nunjukkan mulut
besarnya dengan omongan untuk menampakkan kelebihan di hadapan orang lain”
(H.R.Ahmad & Tirmidzi).
• Tawadlu’ – rendah hati, menyampaikan pendapat dengan apa adanya,
jelas, mudah difahami, tidak diucapkan dengan congkak Hargailah sesama warga
musyawarah, lebih-lebih ada orang yg. Lebih ahli dan lebih berkompeten dalam
masalah yang dibicarakan, maka lebih baik kita mendengarkan dengan tenang, dan
bila perlu dapat pertanya dalam rangka menambah ilmu.
• Sedapat mungkin menghindari permusuhan, karena sering terjadi
perbedaan pendapat dalam musyawarah menjadikan panas. Untuk menghindari
dominasi hafsu-emosional, maka redamkanlah dengan banyak baca istighfar.
- Musyawarah bukan tempat saling menjatuhkan. Pandangan yang salah yang menganggap bahwa musyawarah sebagai ajang untuk saling menjatuhkan, saling membantai dimuka umum, hal ini perbuatan yang tidak berakhlaqul karimah, dan hendaklah wajib dihindari.Menaati keputusan Musyawarah Menutup Musyawarah, dilakukan dengan collingdown, membaca do’a mengakhiri majelis:
“Subkhaanakallaahumma, wa bikhammdika Ashadu alla illaaha illaa
Anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik “
“ Maha suci Engkau Ya Allaah, dan dengan memujiMu, aku bersaksi
bahwa tiada tuhan melainkan Engkau, aku mohon ampunanMu, dan bertobat padaMu”.
- Adab Sesudah Musyawarah
a.
Menjalankan keputusan yang mengikat masing-masing anggota
b.
Menjaga rahasia keputusan yang tidak boleh diumamkan
c.
Menghindari rasa kecewa atas keputusan yang telah diambil.
d.
Menjaga terciptanya suasana Ukhuwah Islamiyah, tetap akrab.
Perjuangan KH. Mas Mansur dalam Mewujudkan Kemerdekaan
1.
Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1959, setibanya beliau dari menuntut ilmu di mesir. Beliau
pulang ke kota kelahirannya yaitu kota surabaya yang saat itu sangat ramai oleh
hiruk pikuk oleh semangat kebangsaan kaum refolusioner.di kota inilah
Cokroaminoto memimpin Central Sarikat Islam (CSI) yang terkenal dengan
aksi-aksinya yang radikal. Dalam suasana kota yang marak seperti itulah Mas
Mansur memilih Central Serikat Islam (CSI) sebagai lahan pengabdiannya di
bidang politik. Tak lama kemudian beliau terpilih sebagai penasihat organisasi
radikal tersebut.
Kemudian Mas Mansur ikut
bergabung dengan indonesische Studie Club (ISC) yang didirikan di Surabaya pada
tanggal 11 juli 1924 sebagai penjelmaan dari intelectuele Club. ISC yang
dipimpin oleh dr. Sutomo bertujuan untuk membangun kaum terpelajar supaya
mempunyai keinsyafan kewajiban terhadap masyarakat dan memperdalam
pengetahuannya tentang politik.
Pada tahun 1927 partai
serikat islam mengalami keretakan. Ketika itu dr. Sukirman bertemu dengan Mas
Mansur yang terkena disiplin partai terdapat persamaan ide untuk mempertahankan
serta menaikan pamor partai islam pertama di Indonesia itu dengan kembali masuk
menjadi angootanya. Untuk itu Mas Mansur, Sukiman, Wali Al-fatah dan beberapa
tokoh lain melayangkan sepucuk surat kepada pengurus partai, yang sejak 1929
namanya dig anti menjadi Partai Sarikat Isalm Indonesia (PSII).
Pada tanggal 14 Desember
1938 di Solo lahirlah partai baru yang bernama Partai Islam Indonesia (PII). Di
partai itu Mas Mansur duduk sebagai anggota. Terbentuknya partai ini dilandasi
oleh adanya kesadaran berpolitik di kalangan umat islam Indonesia di dalam
melihat perkembangan situasi sosial-politik baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Kehadiran PII ini setidaknya cukup melegakan sebagian umat islam yang
sudah sejak lama mendabakan sebuah partai sendiri yang kooperatif dan
aspiratif. Partai ini dengan serta merta berkembang pesat ke seluruh penjuru
tanah air ditunjang oleh organnya, majalah Islam Bergerak, yang memperoleh
banyak simpati dari umat islam di Indonesia. Perkembangan PII yang sedemikian
tidak bisa lepas dari peran Mas Mansur sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah.
Enam bulan setelah
berdirinya PII, Mas Mansur dan R. Wiwoho mewakili partai tersebut untuk
mendirikan Gabungan Partai Indonesia (GAPI) bersama kaum pergerakan kebangsaan
di Jakarta pada tanggal 29 Mei 1939. Berdirinya GAPI selain dimaksudkan
untuk mempersatukan partai politik di
Indonesia, juga mempunyai tujuan pokok yaitu menuntut Indonesia berparlemen.
PII memberikan dukungan penuh terhadap tuntutan GAPI berdasarkan prinsip
musyawarah.
Dalam kongres PII pertama yang diadakan
di Yogyakarta pada 11 april 1940 mencetuskan bebrapa program yang menyangkut
berbagai kepentingan rakyat Indonesia, meliputi masalah-masalah politik, agama,
ekonomi, perpajakan, sosial, pengajaran dan kehakiman. Salah satu program PII
yang paling menarik dan relevan dengan apa yang di perjuangkan bangsa Indonesia
saat itu adalah di bidang politik, yaitu mengadakan sebuah Negara kesatuan
Indonesia dibawah suatu pemerintahan pusat yang bersifat demokratis.
Pada bulan September 1940 Mas Mansur
mewakili MIAI duduk dalam dewan pimpinan Majelis Rakyat Indonesia (MRI) bersama
dengan K.H. Wahid hasyim, Wondoamiseno, dr. Sukiman dan Umar Hubeisy. MRI
sendiri adalah sebuah badan perwakilan rakyat Indonesia yang bertujuan mencapai
kesentosaan dan kemuliaan rakyat berdasarkan demokrasi menggantikan kongres
Rakyat Indonesia. Menurut A.K. Pringgodigno berdirinya MRI merupakan suatu
langkah maju karena keanggotaanya meliputi berbagai pergerakan rakyat, baik
bersifat politis maupun non politis. Kemajuan ini, menurutnya terdorong oleh
kehendak yang amat kuat dari rakyat Indonesia untuk mencapai hak mengambil
keputusan mengenai urusan negri mereka sendiri sebagai akibat dari meletusnya
peperangan.
Dalam rapat MRI pada
tanggal 16 november 1941 yang beranggotakan 15 orang Mas Mansur terpilih
menjadi ketua MRI. Terpilihnnya Mas Mansur dianggap sebagai suatu peristiwa
yang cukup mengejutkan, karena pemilihan itu dilaksanakan secara demokratis,
bebas, rahasia dan tanpa campur tangan pemerintah. Ini juga menunjukan betapa
sebenarnya posisi Mas Mansur dimata kalangan nasionalis yang mempercayai
kepemimpinannya. Namun Mas Mansur tidak bersedia mengemban kepercayaan kongres
tersebut dengan alasan lebih memilih Muhammadiyah.
2.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika Jepang baru seminggu menduduki Indonesia, nama Mas Mansur muncul
sebagai mentri agama dalam daftar susunan cabinet Indonesia yang diajukan
Abikusno Cokrosuyoso kepada penguasa pendudukan. Namun, susunan tersebut
ditolak mentah-mentah oleh Jepang yang sejak semula tidak berniat untuk
membebaskan Indonesia sepenuhnya.
Pada tanggal 9 maret 1943 Mas Mansur bersama Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta
dan Ki Hajar Dewantara yang dijuluki 4
serangkai (Si’in) oleh Sukarjo Wiryopranoto menduduki posisi kunci utama dalam
gerakan PUTERA atau Pusat Tenaga Rakyat (Jawaminshu soryoku kesshu undo)
yang diresmikan Gunseikan di Lapangan Ikada, Jakarta. Dalam rapat itu Mas
Mansur turut memberikan pidato sambutan, antara lain ia mengatakan bahwa
Indonesia dapat lepas dari cengkraman Belanda berkat Dai Nippon. Gerakan ini memiliki
empat departemen dengan dua belas sesi. Keempat Departeman itu adalah :
Departeman Perencanaan dan pembangunan, di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara,
Departemen Propaganda, di bawah Bung Karno, Departemen Kesejahteraan
Masyarakat, di bawah Mas Mansur. PUTERA didirikan jepang dengan maksud untuk
untuk memberikan kepuasan bangsa Indonesia di bisang politik, sekaligus sebagai
alat untuk mengeksploitir kekayaan Indonesia bagi keperluan Perang Asia Timur
Raya.
Pada tanggal 16 Juni 1943 Perdana Mentri Jepang Toyo menjelaskan bahwa
Indonesia akan diberi kesempatan untuk berperan dalam pemerintahan. Sebulan
kemudian pada tanggal 17 Juli 1943 Perdana Mentri Toyo (Tojo Hideki) datang ke
Indonesia. Dalam pidatonya di lapangan Ikada ia menekankan pentingnya posisi
jawa dalam Perang Asia Timu Raya. Ia mengulangi janjinya untuk memberi
kesempatan kepada penduduk jawa berperan dalam pemerintahan sesegera mungkin.
Posisi Jepang semakin kritis dalam perang. Dua minggu seletah Perdana Menteri
Toyo berpidato di Jakarta, pasukan sekutu menjatuhkan bom di Surabaya. Sebagai
realisasi dari pernyataan P.M. Toyo mengenai partisipasi politik orang-orang
Indonesia, maka pada tanggal 5 Semptember 1943 Saiko Shikikan (Panglima
Tertinggi) membentuk Chuo Sangi-in atau sebuah lembaga semacam Dewan
Pertimbangan Agung, yang di ketuai oleh Bung Karno. Mas Mansur termasuk dalam
24 oarang anggota Chou Sangi-in yang diangkat oleh Saiko Shikikan.
Ia merupakan salah satu dari enam wakil golongan islam yang menjadi anggota
lembaga tersebut.
Sementara itu gerakan PUTERA yang didirikan untuk mendukung kepentingan
Jepang, dalam perkembangannya ternyata tidak sesuai dengan harapan semula dan
dianggap mengacam posisi Jepang di jawa. Para pemimpin PUTERA memang
memanfaatkan PUTERA sebaik-baiknya untuk menggalang dan membangkitkan semangat
serta persatuan rakyat.
Selanjutnya pada tanggal 1 Maret 1944 di bentuklah Jawa Hokokai
(Himpunan Kebangkitan Rakyat Jawa) yang bertujuan untuk mempercepat kemenangan
akhir sesuai dengan amanat Saiko Shikikan. Dengan terbentuknya Jawa
Hokokai, Empat Serangkai mengumumkan peleburan PUTERA ke dalam badan baru
tersebut.
Adapun Masyumi yang di bentuk atas selera Jepang supaya tak banyak berperan di bidnag politik, ternyata memperoleh posisi penting dengan menempatkan K.H. Hasyim Asy’ari, ketua Masyumi sebagai penasehat Jawa Hokokai bersama Bung Karno. Sedangkan Mas Mansur bersama Bung Hatta menangani masalah umum dalam negeri di pusat. Namun, dalam prakteknya, Mas Mansur lebih memusatkan perhatiaanya kepada Masyumi, karena setelah dibubarkannya PUTERA hanya ada dua organisasi sosial politik yang menonjol, yaitu Masyumi dan Jawa Hokokai.
Pada tanggal 28 Mei 1945 di resmikanlah Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Chosakai). Badan ini
diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat, yang beranggotakan 68 orang. Badan
ini melakukan bersidang dua kali yaitu tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 dan 10 – 16
Juli 1945. Persidangan membahas masalah-masalah pokok mengenai bentuk, batas,
dan dasar filsafat Negara, serta konstitusi. Dalam perkembangannya terbentuklah
sebuah tim kerja BPUPKI yang diketuai Bung Karno. Tim ini pada tanggal 22 Juni
1945 menelurkan Piagam Jakarta yang ditanda tangani oleh Sembilan anggota
terkemuka. Dalam piagam itu Pancasila disepakati sebagai dasar Negara
Indonesia.
Kemudian pada tanggal 7 agustus 1945 BPUPKI digantikan dengan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI dengan Bung Karno sebagai ketuanya.
Sidang pertama direncanakan tanggal 18 Agustus 1945. Namun, belum sempat siding
itu terselenggara, bangsa Indonesia tanpa campur tangan jepang
memproklamatirkan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Semenjak akhir Juli 1945 kesehatan Mas Mansur mulai melemah hingga jatuh
sakit. Tetapi ia masih memantau peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia
terutama detik-detik menjelang dan berkumandangnya proklamasi di atas
pembaringan.
3.
Perang Kemerdekaan
Dua hari sejak proklamasi kemerdekaan hingga tewasnya Jendral Mallaby serta
munculnya ultimatum Letnan Jendral Chistoper pada akhir Oktober. Saat itru Mas
Mansur beserta keluarga tiba di Surabaya
Pada tanggal 10 November
1945 pecahlah pertempuran Surabaya. Pertempuran ini pecah karena rakyat
Surabaya mengabaikan ultimatum dari Mayor Jendral M.C. Mansergh yang akan
menggempur Surabaya dari berbagai penjuru jika semua pemimpin belanda tidak mau
menyerah. Seminggu kemudian Inggris berhasil menguasai wilayah Surabaya utara,
dimana tempat Mas Mansur berdomisili. Walaupun kondisi tubuhnya lemah, dan
banyak peluru yang menembus tembok rumahnya , Mas Mansur tetap tidak bergeming.
Memang saat ituu kondisinya tidak memungkinakan utuk berjuang namun Mas Mansur
bergerak di balik layar. Ia memang tidak terjun langsung ke front. Namun banyak
pemuda yang diam-diam menyelinap ke rumahnya untuk berkonsultasi dan meminta
wejangan darinya.
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas
Mansur belum sembuh benar dari sakit. Namun, ia tetap ikut berjuang memberikan
semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA).
Akhirnya, ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di
tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal
di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo
Surabaya.
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah
Republik Indonesia KH. Mas Mansur diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional Bintang Mahaputra Tingkat II
berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 162 Tahun 1964.
SEMESTER II
BAB IV
KEWAJIBAN PELAJAR MUHAMMADIYAH
Pelajar Muhammadiyah harus memiliki keunggulan dalam keilmuan, berakhlak
mulia, terampil dalam usaha menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran
Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Pengamalan ajaran Islam Pelajar Muhammadiyah di antaranya sebagai berikut:
1.
Berdoa dalam Menuntut Ilmu
a.
Doa Sebelum Belajar
رَضِتُ
بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ رَبِّ
زِدْ نِيْ عِلْمًـاوَرْزُقْنِـيْ فَهْمًـا
“Rodlittu billahiroba, Wabil islaamidiinaa, Wabimuhammadin nabiyyaa
warasuula, Robbi zidnii ilmaan warzuqnii fahmaan.”
“Kami ridho Allah Swt sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Nabi
Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu dan
berikanlah aku pengertian yang baik.”
b.
Berdoa Selesai Belajar
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ
ﺃَﺭِﻧَﺎ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﺣَﻘًّﺎ ﻭَﺍﺭْﺯُﻗْﻨَﺎ ﺍﺗِّـﺒَﺎﻋَﻪ ﻭَﺃَﺭِﻧَﺎ ﺍﻟْﺒَﺎﻃِﻞَ ﺑَﺎﻃِﻼً
ﻭَﺍﺭْﺯُﻗْﻨَﺎ ﺍﺟْﺘِﻨَﺎﺑَﻪُ
Aallohumma Arinal Haqqo Haqqon
Warzuqnattibaa’ahu. Wa Arinalbaathila Baa-Thilan Warzuqnajtinaabahu
Artinya :
Ya Alloh,
tunjukkanlah kepada kami kebenaran sehinggga kami dapat mengikutinya. Dan
tunjukkanlah kepada kami kejelekan sehingga kami dapat menjauhinya.
2.
Membaca Al-Quran Setiap Hari
Membaca Al-Quran Bagaimanapun Akan Mendatangkan
Kebaikan
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله
عنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمَاهِرُ
بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ
الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ »
“Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang yang
lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa
selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di
dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala” (HR.
Muslim).
Membaca Al Quran Akan Mendatangkan Syafa’at
Kepada Para Pembacanya:
عَنْ أَبي أُمَامَةَ
الْبَاهِلِىُّ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَقُولُ « اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا
لأَصْحَابِهِ
“Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya” (HR. Muslim).
3.
Menyampaikan Nasehat Kebaikan
4.
Membiasakan Gemar Membaca
5.
Berperilaku Islami
PERAN PELAJAR DI AMAL USAHA MUHAMMADIYAH
1. Mengenal dan memahami bidang dan tugas AUM sehingga dapat mengetahui
gerak langkah Muhammadiyah dalam berdakwah
2. Ikut terlibat dalam kegiatan AUM
3. Mendukung dan mensukseskan program AUM
TUGAS ALUMNI SEKOLAH/ MADRASAH MUHAMMADIYAH
1.
Memiliki
prinsip tauhid kepada Allah SWT
2.
Menjadikan iman
dan tauhid sebagai landasan
3.
Meneladani
perilaku Rasulullah SAW
4.
Melaksanakan
Amalan dengan Ikhlas dalam wujud amal shalih dan ihsan
5.
Menampilkan
Akhlakul karimah
6.
Menjauhi
perbuatan dosa
7.
Melaksanakan
ibadah mahdhoh dan menghidupkan amalan sunnah
8.
Menjalin
persaudaraan sesama manusia
9.
Meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan
10. Menampilkan sikap mandiri, tanggung jawab dan bekerja keras.
TANGGUNG JAWAB
ALUMNI SEKOLAH MUHAMMADIYAH
1. Menagakkan ajaran Islam
2. Mengamalkan amalan-amalan sunnah
3. Menjaga nama baik diri sendiri dan almamater
4. Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari
5. Beramar makruf nahi mungkar semaksimal mungkin
Kisah
Ketekunan Balajar Seorang IBNU ABBAS
“Aku telah merendahkan diriku
sebagai pencari ilmu, sekarang aku menjadi mulia sebagai orang yang dicari
ilmunya.”
–Ibnu Abbas r.a.
Dalam menuntut ilmu, mari kita belajar
pada semangat Ibnu Abbas.
Suatu ketika aku ingin menemui seorang
sahabat untuk urusan agama. Kebetulan saat aku hendak masuk rumahnya, ia sedang
tidur. Maka kuhamparkan kain untuk duduk sambil menunggu di depan rumahnya sehingga
muka dan tubuhku kotor oleh debu dan pasir. Meski demikian, aku setia duduk
menunggu di pintu rumahnya. Setelah ia bangun, aku bertanya kepadanya mengenai
masalah yang terjadi dan mengenai maksud kedatanganku.
Sahabat ini berkata, “Engkau adalah
keponakan Rasulullah, mengapa engkau sampai hati menyusahkan diri, mengapa
engkau tidak memanggilku saja?” Kujawab, “Aku sedang menuntut ilmu, jadi akulah
yang wajib mendatangimu. Sebab ilmu itu didatangi, bukan mendatangi”
Sementara di tempat lain, salah seorang
sahabat setelah aku datangi rumahnya ia baru bangun dari tidurnya lalu
bertanya, “Sejak kapan engkau duduk dan menungguku?” “Cukup lama,” jawabku. “Engkau
telah berbuat sesuatu yang tidak layak, mengapa tidak memberitahu
sebelumnya?” “Aku tidak ingin hajatmu tertunda karena kepentinganku,”
jawabku.
Ibnu Abbas bermaksud hendak menenangkan
tuan rumah. Dan betapa sikap ini menunjukkan kalau keponakan Rasulullah ini
sangat merendahkan hatinya dalam menuntut ilmu dan sangat menghargai kedudukan
guru. Kisah ini tidak berhenti sampai di sini. Mari kita simak kisahnya lagi:
Kali waktu Zaid bin Tsabit—juru tulis
wahyu dan sahabat yang terkemuka dalam keadilan, fiqih, qiraah dan
faraid—hendak menaiki keledainya. Ibnu Abbas segera berdiri untuk memegangi dan
menuntun keledainya. Zaid bin Tsabit pun merasa sungkan dan buru-buru
melarangnya,
“Hentikan itu, wahai putra paman
Rasulullah!” “Begitulah kita disuruh berbuat terhadap ulama-ulama kita,” jawab
Ibnu Abbas dengan tenang.
Zaid bin Tsabit tak kehabisan akal,
lalu katanya, “Coba perlihatkan tanganmu!”
Ibnu Abbas mengeluarkan tangannya, dan
langsung dicium oleh Zaid bin Tsabit seraya berujar, “Beginilah kita
diperintahkan untuk berbuat kepada keluarga Nabi kita.”
Ibnu Abbas sangat rajin menuntut ilmu
sampai derajat yang menakjubkan banyak orang. Masruq bin Ajda’, salah satu
pembesar tabiin berkata, “Melihat Ibnu Abbas, maka harus aku akui bahwa dia
orang yang paling tampan, paling lugas bicaranya, dan paling piawai dalam
memberi penjelasan.”
Setelah cukup menimba ilmu, Ibnu Abbas
mulai mengajar. Rumahnya menjadi jami’ (perkumpulan) bagi kaum muslimin.
Benar-benar sebuah jami’ dengan seluruh kelengkapannya yang dimaksud pada masa
kini. Bedanya jami’- jami’ pada zaman ini dipenuhi sejumlah tenaga pengajar,
sedangkan jami’ Ibnu Abbas tegak di atas bahu satu guru, yaitu dia sendiri.
Di samping memberikan
pelajaran-pelajaran khusus, Ibnu Abbas sangat memperhatikan hak-hak orang awam.
Untuk itu, dia menyelenggarakan majlis-majlis penuh nasihat untuk mereka.
Majlis ini menarik perhatian banyak orang sehingga mereka terkagum-kagum dengan
kapasitas keilmuan Ibnu Abbas. Bahkan setiap cendekiawan yang duduk di depannya
selalu tunduk kepadanya, dan setiap orang yang bertanya selalu mendapat jawaban
yang memuaskan.
Karena keilmuannya yang sangat luas,
Ibnu Abbas mampu mencapai kedudukan sebagai penasihat khalifah walaupun usianya
masih sangat muda.
Setiap kali menghadapi kesulitan,
Amirul Mukminin Umar bin Khattab selalu memanggil sahabat-sahabat utama
termasuk Abdullah bin Abbas. Bila dia datang, diberinya tempat duduk di sisinya
lalu berkata, “Kami menghadapi kesulitan dalam hal-hal yang engkau ahli di
dalamnya dan orang-orang sepertimu.”
Umar bahkan pernah diprotes keras oleh
golongan tua karena lebih mengutamakan Ibnu Abbas. Tentang hal ini Umar
menjawab, “Dia memang muda, tetapi dewasa akalnya. Memiliki tutur kata yang
lugas dan akal yang sehat.”
Ibnu Abbas bukan jenis manusia yang
hanya bicara tanpa berbuat, atau yang melarang sementara dia sendiri
melakukannya. Ia selain berilmu tinggi juga ahli ibadah. Ia dikenal ahli puasa
dan suka shalat malam. Hal ini pernah diceritakan oleh Abdullah bin Malikah
ketika ia menemani Ibnu Abbas dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. “Bila
kami istirahat di suatu rumah, dia akan bangun di sebagian malam sementara
orang-orang tidur kepayahan.”
Ibnu Abbas dikenal memiliki wajah yang
rupawan dan wajah cerah yang selalu menangis di tengah malam karena takut
kepada Allah, sampai-sampai air matanya yang tumpah membekas di pipinya yang
masih belia. Ia telah mencapai puncak spiritual.
Dalam usia 17 tahun Abdullah bin Abbas
telah memenuhi dunia dengan ilmu, paham, hikmah dan ketakwaan. Ibnu Abbas
dikenal dengan gelar Turjuman Al-Qur’an (penafsir Al-Qur’an), Habrul Ummah
(guru umat), dan Ra’isul mufassirin (pemimpin para mufassir).
“Penafsir Al-Qur’an terbaik adalah Ibnu
Abbas,” kata Ibnu Mas’ud.
“Ibnu Abbas dijuluki dengan Al-Bahr
(lautan) karena keluasan ilmu yang dimilikinya,” kata Mujahid.
“Ketika Zaid bin Tsabit wafat, Abu
Hurairah berkata, ‘Orang paling pandai umat ini telah wafat dan semoga Allah
menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.’” kata Yahya bin Sa’id Al-Anshari.
Jenazah Ibnu Abbas dishalati oleh
Muhammad bin Hanafiyah bersama sisa-sisa sahabat Nabi dan tokoh-tokoh tabi’in.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, saat tanah mulai ditaburkan, terdengar suara
membaca ayat 27-30 Surah Al-Fajr,
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam
jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Waallahu a’lam.