Ekspresi Persaudaraan Sesama Muslim
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Bulan Desember 2018) Tidak
diragukan lagi bahwa kita sekarang hidup di zaman fitnah. Dimana tolak ukur kesuksesan
ataupun kebahagiaan sudah mulai bergeser ke arah material duniawiyah.
Penghormatan seseorang bukan dari segi ilmu atau kedekatannya dengan Allah,
melainkan dengan seberapa banyaknya harta kekayaan yang ia punya. Orang yang
tidak punya harta benda kekayaan seakan tersisih sejauh mata memandang dari
padangan manusia.
Demikian juga
nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) yang dibangun karena Allah pun mulai pudar.
Orang-orang tidak saling berhubungan melainkan karena pertimbangan materi
belaka. Mereka saling mencintai dan membenci karena dunia. Memasang wajah manis
karena ada kepentingan dan maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka
senyuman pun berubah menjadi raut masam. Akhirnya terjadilah yang namanya
saling memaki, saling menghasud, saling membenci, saling menipu, saling berdebat
dan ujung-ujungnya adalah pecahnya ukhuwwah di antara sesama.
Sebagai contoh
real adalah ketika menjelang pemilihan umum beberapa tahun lalu. Kita bisa
melihat bagaimana antara pendukung pasangan capres-cawapres saling membela dan
menghina bahkan sampai fitnah memfitnah untuk membela kepentingannya. Tentunya
peristiwa kelam beberapa tahun lalu menjadi pelajaran bersama untuk tidak
bersikap demikian pada tahun depan.
Hadis dari Abu
Hurairah di bawah ini memberikan pelajaran
penting bagi kita agar jangan sampai terjadi perpecahan ukhuwwah.
عَنْ
أَبي هُريرةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ
تَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً، اَلْمُسْلِمُ أَخُو
الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلاَ
يَحْقِرُهُ، اَلتَّقْوَى هَا هُنَا، -وَيُشِيْرُ
إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ-، بِحَسْبِ
امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ؛ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ .رواه مسلم
.
Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata,
Rasulullah SAW bersabda,“janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling
menipu, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi (mengisolir),
dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu di atas penjualan sebagian yang
lain, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, seorang muslim adalah
saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzhaliminya, tidak boleh
mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh meremehkannya
/merendahkannya. Takwa itu ada di sini, - dan beliau menunjuk ke dadanya tiga
kali -.“cukuplah seseorang dikatakan buruk /jahat, jika ia menghina/merendahkan
saudaranya yang muslim. Setiap muslim
atas muslim yang lainnya haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil)
hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) harga dirinya/kehormatannya”. (HR. Muslim
2564).
Hadis ini memberikan gambaran yang luas bahwa
kaum muslimin itu bersaudara. Tidak saling membenci, membelakangi, menghina dan
lain sebagainya adalah bentuk perwujudan dari rasa memiliki cinta dan kasih
sayang terhadap sesama. Ekspresi cinta itu berbentuk dengan tidak saling
membenci, menipu, merendahkan, membelakangi
dan lain sebagainya sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas.
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah
beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi
saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.”(HR. al-Bukhari)
Ibnu Bathol dalam syarah Bukhari berkata, makna hadis ini adalah tidaklah
salah seorang di antara kalian beriman secara sempurna sehingga ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri (Ibnu Bathol, Syarah Shahih al-Bukhari,
Maktabah Syamilah). Engkau suka apabila dirimu kaya, berilmu, dan mendapat
pujian maka engkau juga suka bila saudaramu kaya, berilmu, dan mendapat pujian.
Demikianlah seterusnya, untuk semua perkara yang beraneka ragam.
Tahasadu/Hasad (dengki)
merupakan salah satu sifat tercela. La tahaasadu bermakna janganlah
sebagian kalian mengharapkan hilangnya kenikmatan yang dirasakan oleh sebagian
yang lain (Musthafa Diem al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Waafi fi Syarhil
Arba’in an-Nawawiyah, hal. 284). Bahkan bisa jadi ingin agar kenikmatan
tersebut hilang dan diberikan kepadanya atau orang lain. Keinginan saling meng-hasad
ini akan berlanjut pada sifat untuk
melihat, mengamati, memata-matai sehingga pelarangan ini sangatlah
tepat.
Dalam hadis ada istilah tajassus dan tahassus,
tajassus berarti memata-matai, ghalibnya dipakai dalam hal kejelekan. Sedangkan
tahassus ghalibnya dipakai dalam hal kebaikan sebagaimana perintah Nabi
Ya’qub kepada anak-anaknya untuk mencari berita tentang Yusuf (QS. Yusuf: 87). (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim,
juz 13, hal. 158). Akan tetapi dua istilah tersebut-pun bisa dipakai dalam hal
keburukan sebagaimana telah disebutkan dalam hadis shahih al-Bukhari: “Wala
Tajassasu, wala tahasssasu, wala tabaaghadhu, wala tadaabaru, wakunu
ibaadallahi ikhwaanan” (HR. Bukhari, dalam kitab adab, bab ma yanha ‘an
at-tahaasudi wa tadaaburi, no. 6064). Untuk penjelasan lebih lengkap bisa
dilihat dalam tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat al-Hujurat ayat 12.
Tanaajasyu/An-Najsyu, secara
bahasa artinya menipu, meninggikan atau menambah. An-Najsyu bermakna
menambah harga barang yang dijual di pasaran dengan tujuan merugikan pembeli
lainnya, padahal ia tidak bermaksud membeli barang tersebut. Tabaghadhu artinya
melakukan sebab-sebab yang dapat menimbulkan dan memicu api kebencian
(permusuhan). Tadaabaru artinya saling berdiam diri, tidak saling
tegur sapa dan memutuskan tali silaturrahim, saling mengisolir/memboikot.
Dengan demikian, seseorang tidak lagi senang jika bertemu dengan saudaranya. Bahkan
saling membelakangi dengan sebab kebencian yang terjadi pada keduanya.
Dan arti menjual sesuatu di atas penjualan
orang lain, adalah terjadinya jual beli antara si penjual dan pembeli,
sedangkan mereka berdua masih dalam waktu tawar-menawar (masih dalam khiyar
majlis dan khiyar syarat), kemudian datanglah penjual yang lain
mengatakan “batalkan saja jual beli itu, aku jual barang yang lebih baik dari
itu dengan harga yang sama atau barang yang serupa dengan harga yang lebih murah”.
Persaudaraan Iman, Sebuah Syarat Kebangkitan
Umat
Pada potongan hadis terakhir disebutkan bahwa
كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ؛ دَمُهُ وَمَالُه وَعِرْضُهُ
Setiap
Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram
(mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) harga dirinya/kehormatannya.
Inilah hak-hak persaudaraan yang dibangun di
dalam masyarakat muslim, dimana setiap muslim merasa tenang dengan jiwanya,
hartanya dan kehormatannya. Setiap muslim terhadap muslim lainnya mempunyai hak
untuk saling menjaga darahnya, hartanya dan kehormatannya. Tidak saling
membunuh, mencuri dan merendahkan kehormatan sesama manusia. Apabila seseorang
melakukan tindakan demikian berarti telah mempersembahkan dirinya di hadapan
murka dan hukuman Allah.
Allah mensyariatkan adanya qishash
terhadap jiwa dan anggota badan sebagai perlindungan jiwa manusia, demikian juga
penjagaan terhadap harta dan kehormatan. Diperbolehkan mengambil harta saudaranya
dengan cara yang hak dan tepat seperti jalan perniagaan atas dasar saling
ridha. Penjagaan kehormatan/harga diri seorang muslim pun tidak kalah
pentingnya. Di antara penjagaan kehormatan seorang muslim adalah dengan tidak
melakukan ghibah, menggosip, ngrasani bahkan memfitnah saudaranya. Pada
masa sekarang bukan hanya menjaga diri dari ghibah berbentuk oral, tapi juga
berbentuk tulisan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, perpecahan
sering kali diawali dengan membangkitkan isu lama ataupun hoax dan kabar
berita yang tidak jelas. Isu-isu semacam wahabiyah dan teroris sengaja diputar
kembali di masyarakat. Pada mulanya sebagai problem keagamaan dan dakwah,
sekarang merambah ke isu politis. Tidak lain karena digunakan oleh pihak-pihak
tertentu sebagai amunisi untuk mendeskreditkan kelompok yang dianggap sebagai
rival. Terlebih jika isu ini bersinggungan dengan kepentingan
politik-pragmatis. Sebagai realnya adalah isu terorirme selalu dikaitkan dengan
ideologi wahabi. Stigma wahabi mudah sekali diucapkan dan diluncurkan bebas
kepada siapapun yang berseberangan pandangan. Hal seperti ini seringkali
menciderai persaudaraan dan persatuan umat.
Adanya hadis ini bukan hanya berbicara sebatas
persaudaraan muslim semata, bahkan lebih. Dalam konteks kebangsaan dan sesama
manusia pun tidak diperbolehkan seseorang membunuh, mengambil harta orang lain
maupun merendahkan harga diri/kehormatan orang lain. Bahkan dalam tataran hukum,
pencemaran nama baik bisa menjadi suatu hal yang dipidanakan di muka
pengadilan. Lebih dari itu, persaudaraan dan ukhuwwah Islamiyah yang
ditegaskan dalam hadis Abu Hurairah ini menjadi salah satu dasar untuk merealiasikan
cita-cita luhur persatuan umat. Setidaknya beberapa cara bisa penulis ringkas
sebagai berikut:
1.
Perlunya
Menyerukan Persaudaraan dan Persatuan Serta Melarang Perpecahan.
Kontradiksi antara
persatuan dan perpecahan tidak mungkin dapat disatukan. Bersatu adalah
kewajiban dan perpecahan adalah sesuatu yang diharamkan. Islam sebagai Hablullah
-tali Allah- (QS. Ali Imran: 103) adalah sebagai pemersatu dalam dekapan
ukhuwwah. Sehingga menyerukan persatuan dan melarang perpecahan haruslah
berlandaskan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi-Nya. Allah berfirman “Dan
janganlah kalian bermusuhan niscaya kalian akan menjadi lemah dan hilang kekuatan”
(QS. al-Anfal [8]: 46). Dalam hadis juga pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya syaitan telah berputus asa untuk terus disembah oleh kaum
muslimin di jazirah arab, akan tetapi syaitan akan menimbulkan perpecahan di
antara mereka”. (HR. Muslim).
Ayat-ayat
ukhuwwah dan solidaritas dalam al-Quran menjadi sebuah
momok yang sangat menakutkan dan paranoid bagi oknum-oknum tertentu yang tidak
ingin umat bersatu. Sebab, jika umat Islam sudah bersatu maka akan terbentuklah
sebuah kekuatan besar. Maka cara yang paling mudah adalah dengan memecah belah
dengan politik adu domba/belah bambu. Terbukti sangat efektif, sebagaimana yang
dilakukan oleh Snouck Hurgrouje (1837-1936) saat membantu menakhlukkan
pejuang-pejuang aceh.
Sejarah mencatat bahwa Snouck Hurgrouje
dikirim oleh kerajaan protestan Belanda untuk membantu melumpuhkan
pejuang-pejuang Aceh. Mereka memahami bahwa Aceh saat itu sukar sekali dikuasai
jika hanya mengandalkan kekuatan senjata semata dan keahlian bertempur sistem
persenjataan teknik (sispertek). Akhirnya mereka membuat perlawanan dengan sistem
persenjataan sosial (sispersol). Pihak Belanda menyadari bahwa dasar perjuangan
rakyat aceh adalah dengan dasar agama Islam. Sehingga diangkatlah Snouck Hurgrouje
sebagai penasehat kolonial Belanda untuk melumpuhkan perlawanan ulama atau umat
Islam. Bahkan untuk menuntaskan misinya, Snouck Hurgrouje berpura-pura masuk
Islam dengan nama Abdul Ghafar dan tinggal di Jeddah (1884 M), kemudian masuk
Makkah dan tinggal selama enam bulan lamanya (Ahmad Mansur Suryanegara, Api
Sejarah jilid 1, 272).
Di Indonesia sudah familiar dengan
istilah “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Ungkapan ini bukan hanya
sekedar jargon dan acungan jempol belaka, namun sejatinya harus menjadi titik
acuan untuk segera berbenah. Bukan hanya sibuk mengurusi khilafiyah hizbiyah
furuiyyah yang membuat semakin renggang hubungan persaudaraan Islam. Di
hadapan dunia Internasional pun posisi umat Islam semakin terpojok dan lemah
terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok. Kebanggaan terhadap kelompok, ormas, suku
ternyata membuat perselisihan dan perpecahan sehingga eksistensi umat belum
diperhitungkan di mata internasional.
2.
Perlunya
Memandang Kebenaran Melalui Hakikatnya, Bukan Dari Tokohnya.
Sebagian
perselisihan tidak jarang berujung perpecahan. Terhambatnya persaudaraan,
persatuan dan kebangkitan umat tidak jarang berpangkal pada sikap fanatisme
buta terhadap golongan, partai, ormas atau jamaah tanpa mendasarkan ilmu.
Berdasarkan hal ini Rasulullah pernah bersabda: “Bukanlah golongan kami,
orang yang mengajak kepada ashabiyyah (fanatisme)” (HR. al-Bukhari).
3.
Perlunya
Membuat Aliansi Sesama Muslim.
Budaya
silaturrahim yang selama ini mulai luntur harus dibangun kembali, dari
lingkungan yang terkecil hingga yang paling besar. Sehingga akan tercipta
suasana umat yang saling terbuka, khususnya dalam menyelesaikan masalah yang
besar. Sebagai tindak lanjut dari adanya silaturrahim yang terjaga ini
diharapkan terbentuknya afiliasi antar sesama muslim dan membuat sebuah
kekuatan besar.
Untuk dapat membuat afiliasi antar
sesama muslim, maka perlu pemahaman bahwa persatuan adalah sebuah keniscayaan
dan pokok agama. Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan akidah dan tauhid,
meninggikan agama Allah dengan keteguhan hati dan konsistensi. Dibawah
persatuan kalimat syahadat Allah dan Rasul, sesama muslim diharapkan menjadi
sebuah kekuatan besar yang lebih tersistem.
Untuk mengatasi masalah persatuan
yang sengaja diledakkan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak punya i’tikad baik
terhadap Islam ini maka diperlukan hati dan pikiran yang baik pula. Adanya
afiliasi para tokoh dan keteladan serta keikhlasan untuk membimbing umat agar
selalu mengarah pada persatuan umat. Tentunya juga dibarengi dengan keadilan
pemerintah dan transparansi informasi dalam mengolah isu-isu. Wallahu a’lam
bisshowab.
Post a Comment for "Ekspresi Persaudaraan Sesama Muslim"