Jangan Putus Sekolah Nak !
foto anak-anak sedang berangkat sekolah pagi hari |
Namaku Fahri Aditya. Teman-temankku biasa memanggilku Fahri. Aku
lahir dari keluarga yang pas-pasan. Ayah hanya seorang buruh bangunan dengan
gaji yang tak seberapa. Sedangkan Ibu hanya seorang buruh jahit biasa di
kampungku. Walaupun hanya berbekal gaji yang tak seberapa ayah tak
henti-hentinya menyemangatiku untuk tak berhenti belajar. Menyemangatiku untuk
melanjutkan pendidikan walaupun harus membanting tulang. Bertaruh cucuran
keringat.
Pernah suatu hari, ketika aku mau berangkat sekolah untuk minta uang
saku tak sengaja mendengar percakapan ayah dan ibu di kamar.
“Yah, masih ada uang ndak untuk beli lauk hari ini?” Ucap ibu
lirih.
“Alhamdulillah Ayah masih punya 15 rb untuk hari ini. Yang 7 rb bisa
ibu gunakan untuk memasak hari ini, yang 5 rb untuk ayah buat beli lauk di
tempat kerja dan sisanya biar buat saku fahri ke sekolah”
Mendengar percakapan itu tiba-tiba kakiku tersendat untuk
melangkahkan kaki meminta uang saku ke ayah. Bagaimana mungkin aku meminta uang
saku dalam kondisi seperti itu. Tanpa pikir panjang segera aku putar arah dan
kembali ke ruang tamu untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Tak apalah tak
punya uang saku yang penting masih ada air untuk bekal minum selama di
perjalanan ke sekolah.
Aku ingat kemarin masih menyimpan beberapa permen dari temanku
ketika di sekolah. Setidaknya bisa untuk mengganjal perutku yang kosong. Aku
bersyukur masih diberi kesehatan oleh Allah sehingga masih bisa pergi ke
sekolah. Beberapa temanku malah banyak yang sakit sehingga tidak bisa pergi ke
sekolah.
Kebetulan jarak sekolah dari rumah cukup dekat. Sekitar 30 menit
dengan jarak tempuh menggunakan sepeda miniku. Sehingga pukul 6.20 menit aku
sudah harus tancap pedal untuk mengayuh sepeda ke sekolah.
Aku lihat teman-teman seusiaku di kampung banyak yang tidak
melanjutkan sekolah. Entah apa alasannya, beberapa temanku ketika SD banyak
yang sudah bekerja jadi kuli bangunan. Sedangkan sisanya meneruskan ke bangku
SMP. Namun setelah lulus SMP hampir bisa dihitung jari yang mau melanjutkan ke
jenjang SMA. Beberapa di antaranya termasuk aku yang melanjutkan ke jenjang SMA.
Padahal orang tuanya sangat mampu untuk membiayai.
Bukan tanpa alasan Ayah bersikeras untuk menyekolahkanku hingga
jenjang perguruan tinggi sekalipun. Jika urusan itu terkait dengan pendidikan
anaknya Ayah memang tergolong yang paling keras kepala. Ayah punya impian kelak
akulah yang dicadangkan untuk mengangkat derajat keluargaku.
Pernah aku mengajukan permintaan agar Ayah tidak usah repot-repot
menyekolahkanku ke SMA. Tentu alasanku cukup beralasan. Bagaimana mungkin ayah
bisa membiayai sekolahku. Bagaimana dengan adik-adikku yang pastinya juga perlu
pendidikan. Hanya karena alasan itu aku beranikan diri bicara masalah sekolah.
Namun sebelum aku menjelaskan dengan segudang alasan yang telah aku
susun malam tadi, aku dibuat tercengang dan tak sanggup berkata apa-apa dengan
satu ucapan ayah.
“Ayah tidak ingin kamu bernasib sama seperti kedua orang tuamu
kelak !”.
“Tapi yah...”
“Sudahlah..lanjutkan saja, Ayah akan berusaha semaksimal mungkin”.
Biarpun hidup kadang kekurangan tidak menyurutkan langkah Ayah
untuk terus menyekolahkan anak-anaknya. Keputusan itu sudah mendarah daging di tubuh
Ayah. Rasanya sudah tidak bisa dicabut lagi. Kalau urusan pendidikan
anak-anaknya apapun dipertaruhkan.
“Lalu bagaimana dengan sekolah adik kalau aku melanjutkan sekolah
yah?”, tanyaku pada ayah.
“sudahlah Fahri, kamu tidak usah memikirkan biaya sekolah. Cukup
kamu belajar yang rajin sehingga menjadi anak yang pintar. Kelak kamu yang bisa
mengangkat martabat keluarga kita. Kamulah harapan ayah. Jadilah orang yang
bermanfaat bagi sesama. Kelak kamu akan merasakan betapa yang selama ini ayah
perjuangkan adalah untuk memperbaiki peradaban kita”, kata ayah tegas.
Nasehat itu selalu aku pegang. Sebuah nasehat berharga yang sampai
detik ini masih mengiang-ngiang di benakku. Betapa nasehat ini sangat berharga.
Ayah sudah memikirkan jauh-jauh hari tentang masa depanku yang aku sendiri tak
tahu jadi apa kelak. Itulah ayah, beliau selalu saja semangat dan tanpa putus
asa menjalani hidup.
Tentu sebagai anak dari keluarga yang pas pasan aku harus tahu
diri. Tidak bisa seperti temen-temanku yang sepulang sekolah bisa melakukan apa
yang disuka. Aku berbeda. Sepulang sekolah aku gunakan untuk membantu ibuku
menjahit, kebetulan orang tuaku mendapatkan warisan mesin jahit dari nenek.
Mesin jahit tua yang sudah menjadi turun temurun di keluargaku. Tak ada rasa
sesal di hatiku, semangat ayah mengobar dalam ingatanku. Kehidupan yang keras
telah mendidikku menjadi pribadi yang berani menderita.
Ketika ujian kelulusan SMA sudah di depan mata. Pikiranku
dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Meneruskan cita-cita Ayah atau
membenamkan cita-cita itu jauh di lubuk hati. Dua hal yang sulit kuputuskan
waktu itu.
Di satu sisi, orang orang terdekatku memberi saran, “sudahlah tidak
usah sekolah tinggi tinggi, tidak ada gunanya sekolah tinggi-tinggi, lulus SMA
pun kamu sudah hebat di kampung”. Yang lain mengatakan “tidak usah sekolah
tinggi-tinggi, kerja saja, bantu orang tuamu dan adik-adikmu, kamu itu anak
pertama. Bagaimana mungkin kamu membiarkan adik-adikmu terlantar?”.
Namun semua bisikan-bisikan itu rasanya hilang seketika setelah
suara Ayah bergemuruh dalam setiap detak jantungku. “jangan putus sekolah nak,
kamulah nanti yang bisa mengangkat harkat martabat keluargamu”. Amat berat
rasanya. Ucapan Ayah bukan hanya cita-citanya. Namun sudah menjadi amanah Ayah
kepadaku. Amanah yang harus aku pikul. Amat berat rasanya.
Ibulah yang selalu menasehatiku dikala aku dirundung duka, entah
bagaimana ibu selalu tahu kondisi batinku. Padahal tak pernah kuceritakan
kepada siapapun. Ayah dan ibu, begitu dekat ikatanku kepada mereka berdua.
Setelah memutuskan dan shalat istikharah, aku memutuskan untuk
mendaftar beasiswa ke perguruan tinggi. Namun karena memang sudah takdir Allah
demikian. Aku tak lolos dimanapun.
Saat itu, seluruh tubuh terasa lemas dan tidak berdaya. Aku ayunkan
kaki ini ke masjid dipinggir jalan raya yang aku lewati. Hanya shalat yang
menjadi sandaranku. Aku ingat nasehat ibu, “berusahalah sekuat tenaga untuk
menembus batas lalu serahkanlah semuanya pada sang pembuatnya”.
Belum ada orang di masjid karena dzuhur masih agak lama. Hanya ada
dua mobil yang parkir di depan masjid. Mungkin penumpangnya juga berada di
dalam masjid. Beberapa saat telah berdatangan para jamaah karena suara adzan yang
kumandangkan memanggil manggil.
Beberapa saat setelah selesai adzan, tiba-tiba datang menghampiriku
dua orang, satu orang arab dengan pakaian khas berjubah dan orang indonesia
menghampiriku. Mungkin pemilik mobil yang parkir di depan masjid.
“assalamualaikum...”
“waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh”, jawabku. “Adik namanya
siapa?” tanya seseorang yang berwajah indonesia. “Akhirnya aku jelaskan tentang
asal muasalnya secara panjang lebar, termasuk tentang sekolahku”. Orang itu
terus menerus menanyaiku. Entah apa tujuannya, akupun tak tahu. Aku lihat
seseorang yang berwajah arab di sampingnya berkomat kamit menggunakan bahasa
arab, lalu temannya menerjemahkan. “Ini Syaikh Khori beliau kebangsaan Arab
Saudi. Beliau sangat tertarik dengan keindahan suara adzan yang adik
kumandangkan tadi, jika adik berkenan Syaikh Khori mau membiayai adik untuk
melanjutkan sekolah ke luar negeri. Semuanya full gratis.”
Aku terperangah. Tidak bisa keluar sepatah katapun dari mulut.
Setengah berbisik aku mengucapkan “Alhamdulillah, Allahu Akbar”.
Post a Comment for "Jangan Putus Sekolah Nak !"