Resensi Kitab Kaifa Nataammal Maa as-Sunnah an-Nabawiyyah Yusuf Qardhawi Full Bagian 2
Bagaimana Metode Memahami as-Sunnah dengan Baik? ini akan menjadi pertanyaan yang menarik untuk di jawab. Dan tentunya jawabannya telah kami siapkan sebagaimana ringkasan yang telah kami susun ini. Pada bagian pertama sudah dijelaskan bahwa untuk memahami al-Quran dengan baik harus memahami juga as-Sunnah. Tidak hanya memahami dari segi maknanya saja, tapi juga dari aspek sanad, otentisitasnya, sahih , hasan dan dhaifnya. Sedangkan pada bagian kedua ini, kami khususkan pada paruh kedua dari kitab Kaifa Nataammal Maa as-Sunnah an-Nabawiyyah Yusuf Qardhawi pada bagian metodenya. Dibawah ini adalah metode yang harus di gunakan dalam memahami as-Sunnah dengan baik. silahkan di simak baik-baik.
1. Memahami As-Sunnah Menurut Perspektif Al-Qur`an
As-Sunnah merupakan sumber syari’at yang kedua setelah al-Qur`an, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk memahami as-Sunnah dengan benar dan tepat, jauh dari penafsiran-penafsiran yang meniympang, salah satu caranya ialah memahami as-Sunnah berdasarkan perspektif al-Qur`an, yang telah terjamin kebenarannya dan keadilannya, firman Allah:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ [٦:١١٥
Artinya: Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’an 115)
Al-Qur`an adalah ruh agama islam, pedoman yang paling mendasar, sedangkan as-Sunnah nabawiyah adalah penjelas dan perinci dari al-Qur`an, maka selamanya, sunnah harus sejalan dengan al-Qur`an. Maka tidak mungkin terjadi as-Sunnah yang sifatnya sebagai penjelas dari al-Qur`an menyelisihi isi sari al-Qur`an itu sendiri, tidak mungkin furu` akan menyelisi asalnya. Dari sini tidak akan didapati as-Sunnah yang Shahihah bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an, namun apabila hal itu pun terjadi maka hadis tersebut mengandung unsur ketidak sahihan atau pemahaman terhadap hadis yang kurang tepat, ataupun pertentangan itu bukan pada hakikatnya. Inilah yang dimaksud dengan memahami as-Sunnah berdasarkan perspektif al-Qur`an.
Sebagai contoh firman Allah swt :
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ [٥٣:١٩]وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ [٥٣:٢٠]أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنثَىٰ [٥٣:٢١]
تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَىٰ [٥٣:٢٢]إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَآبَاؤُكُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَاءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ الْهُدَىٰ [٥٣:٢٣]
Artinya:Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?
Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. (QS. An-Najm 19-23)
Di dalam ayat ini Alla sudah sangat jelas mencela berhala namun ada sunnah yang menyelisihinya,
تلك العرانيق العلا وان شفاعتهن لترجى
Artinya: Itu adalah al-Gharaniq yang maha tinggi, dan syafa’atnya di harapkan.
Dilihat dari sisi matannya, sudah sangat jelas bahwa hadis tersebut sangat bertolak belakang dengan al-Qur`an, kemudian dapat disimpulkan bahwa as-Sunnah tersebut mengandung unsur ketidak shahihan karena menyelisi ayat al-Qur`an dan juga harus di dukung dengan penelitian kesahihan hadis.
Namun ketika terdapat hadis yang shahih secara substansi muatan seperti menyelisi al-Qur`an dan tidak terdapat penjelasan-penjelasan dari ulama secara gamblang maka alangkah lebih baik bersikap tawakuf. Seperti contoh,
الوائدة والموءودة فب النار
Artinya: Perempuan yang menanam bayi perempuan hidup-hidup dan bayi yang di tanam itu, kedua-duannya di neraka. ( Abu Dawud, diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dll, al-Haitsami berkata perawi-perawi hadis shahih).
hal serupa juga terdapat pada hadis,
الوائدة والموءودة فى النار الا ان تدرك الوائدة الاسلام فتسلم
Artinya: Perempuan yang menanam bayi perempuan hidup-hidup dan bayi yang ditanam itu kedua-duanya di neraka, kecuali perempuan yang menanam bayi itu memeluk islam ia akan terselamat.(HR. Ahmad dan An- Nasa’i).
Maksud dari hadis itu adalah bahwa perempuan yang menanam bayi itu ada peluang untuk selamat, tetapi bayi itu tidak ada peluang untuk selamat. Hal ini menyelisihi firman Allah,
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ [٨١:٨]بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ [٨١:٩]
Artinya: dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
karena dosa apakah dia dibunuh, (QS. At-Takwir:8-9).
Dalil di atas menunjukkan bahwa wanita atau perempuan yang menguburkan anak perempuannya hidup-hidup punya kesempatan untuk selamat dari neraka sedangkan anaknya tidak punya peluang padahal di dalam al-Qur`an bayi tersebut dipertanyakan tentang sebab mereka dibunuh, dalam bukunya Yusuf Qaradawi mengambil sikap tawakuf karena hadis tersebut berstatus shahih, namun menurut kami yang tetap dimenangkan atau di kedepankan tetaplah dalil al-Qur`an sebagai firman Allah yang pasti terjaga dan tidak mungkin terdapat kesalahan di dalamnya.
-Kehati-hatian Dalam Memvonis Hadis yang Bertentangan dengan Al-Qur`an
Dalam hal ini hendaklah seseorang harus berhati-hati ketika memvonis sebuah dalil hadis bertentangan dengan al-Qur`an.
Golongan Mu’tazilah telah banyak melakukan kesalahan terhadap teks-teks hadis, mereka banyak menolak hadis-hadis shahih mengenai syafa’at yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw kepada orang-orang yang shaleh.
عن أبي رجاء العطاردي عن عمران بن حصين عن النبي {صلى الله عليه وسلم} قال يخرج من النار قومٌ بشفاعة محمدٍ {صلى الله عليه وسلم} فيدخلون الجنة ويسمون الجهنميين (رواه البخاري والمسلم)
Artinya: Suatu kaum di keluarkan dari neraka dengan syafa’at Muhammad saw. Mereka masuk ke dalam surga dan mereka dinamakan jahanamiyin. (HR. Bukhari dan Muslim).
Golongan Mu’tazilah menolak hadis-hadis ini karena mereka lebih mengutamakan janji-janji buruk Allah daripada janji-janji baik Allah. Mereka menolak hadis tersebut sekalipun hadis tersebut shahih dan kuat. Mereka berhujjah bahwa hadis-hadis seperti itu bertentangan dengan al-Qur`an yang menafikan syafa’at dari seseorang.
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu). (QS. Yunus 18).
أَمِ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ ۚ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لَا يَمْلِكُونَ شَيْئًا وَلَا يَعْقِلُونَ [٣٩:٤٣]
Artinya: Bahkan mereka mengambil pemberi syafa'at selain Allah. Katakanlah: "Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?"
قُل لِّلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا ۖ لَّهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ [٣٩:٤٤]
Artinya: Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafa'at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan"
Dari ayat di atas Mu’tazilah berpendapat bahwa syafa’at hanya bisa diberikan oleh Allah semata, tidak ada seorang yang bisa memberikan syafa’at kecuali Allah termasuk Nabi Muhammad saw, dengan pendapat inilah mereka banyak menolak hadis-hadis shahih, karena Nabi tersebut bertentangan dengan ayat al-Qur`an.
2. Menghimpun Hadis-Hadis yang Berkaitan Dalam Satu Tema
Suatu keharusan bagi setiap orang muslim untuk memahami as-Sunnah dengan benar, termasuk cara yang kedua yaitu dengan mengimpulkan hadis-hadis yang berkaitan dalam satu tema. Hadis-hadis yang mutasyabih hendaklah dirujuk mengikuti maksud-maksud hadis-hadis yang muhkam. Hadis-hadis yang mutlaq dihubungkan dengan hadis-hadis yang muqayyad, hadis-hadis yang umum hendaknya ditafsirkan dengan hadis-hadis yang khusus. Dengan demikian jelaslah maksud hadis-hadis tersebut dan tidak saling kontradiksi.
Sebagai contoh, hadis yang yang menerangkan tentang pakaian isbal, sebagian orang mengamalkannya dengan penuh semangat, mereka beranggapan bahwa hal tersebut adalah sebuah keharusan bahkan menjadikannya sebagai salah satu syi’ar atau menjadikannya sebuah kewajiban. Ketika mereka mendapati seorang ustadz atau dai yang mejulurkan pakaiannya melebihi mata kaki, mereka akan menganggapnya salah dan kurang dalam pemahaman agama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw,
عن أبي ذر عن النبي {صلى الله عليه وسلم} قال ثلاثة ٌ لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذابٌ أليم قال فقرأها رسول الله {صلى الله عليه وسلم} ثلاث مرار قال أبو ذر خابوا وخسروا من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب (متفق عليه)
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Dzar dari Nabi saw, beliau bersabada, tiga golongan yang Allah tidak akan berbicara dengan mereka pada hari kiamat dan tidak pula mensucikannya dan bagi mereka azab yang pedih, Rasulullah mengulangnya tiga, Abu dzar berkata : mereka menyesal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah ? rasulullah bersabda : orang yang menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki, orang yang mengungkit-ngungkit pemberian dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu. (Muttafaqun ‘alaih).
Maksud dari hadis ini adalah bahwa orang yang menjulurkan pakaiannya melebihi mata kaki maka balasan dari perbuatan tersebut adalah neraka. Ketika dipahami hadis ini secara parsial maka akan menghasilkan kesimpulan di atas. Oleh sebab itu langkah yang bisa di tempuh adalah dengan mengumpulkan semua hadis yang berkaitan dengan hal itu, sehingga terdapat hadis yang mengecualikannya,
عن ابن عمر عن النبي {صلى الله عليه وسلم} قال من جر ثوبه وقد أخرج البخاري بالإسناد من حديث موسى بن عقبة عن سالم عن ابن عمر أن النبي {صلى الله عليه وسلم} قال من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر يا رسول الله أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه فقال رسول الله {صلى الله عليه وسلم} لست ممن يصنعه خيلاء (متفق عليه)
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi saw, beliau bersabda : barang siapa menjulurkan pakaiannya melebihi mata kaki karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat, lalu Abu Bakar berkata: ya Rasulullah salah satu bagian dari celana ku melorot menutupi mata kaki sehingga aku harus menjaganya, Nabi saw bersabda: engkau bukanlah termasuk orang yang berbuat sombong. (Muttafaqun `alaih).
Dua hadis di atas merupakan hadis yang menjelaskan tentang pakaian isbal, sehingga dijadikan dalam satu tema untuk memudahkan dalam memahami sunnah, terlebih lagi sunnah yang bertentangan. Di dalam hadis di atas di jelaskan tentang larangan berpakaian isbal karena beberapa factor:
1. Adanya ancaman-ancaman yang berat, seperti tidak diajak bicara, tidak dilihat dan tidak disucikan, adanya pengulangan Rasul sampai tiga kali. Menunjukkan bahwa itu adalah dosa besar dan itu pasti urusan yang dharuriyyah, yang menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, sedangkan menjulurkan pakaian hanya urusan tahsiniyah,yang berhubungan dengan adat dan muamalah. Jadi tidak mungkin karena semata-mata menjulurkan pakaian, orang akan masuk neraka.
2. Keadaan masyarakat saat itu menunjukkan kekayaan dan kehormatannya lewat pakaian yang menjulur, jadi berpeluang besar untuk sombong dan bermegah-megahan, namun berbeda dengan keadaan sekarang.
An-Nawawi dan Ibnu Hajar berkomentar: kemuthlakan ini harus dibawa pada muqayyadnya yakni kesombongan.
3. Menjam’u (mengkompromikan) atau mentarjih (memilih yang dianggap lebih kuat ) hadis-hadis yang bertentangan
Pada dasarnya nash-nash syar’i yang sahih tidak akan bertentangan antara satu dengan yang lainnya, karena yang hak tidak akan bertentangan dengan yang hak. Jika ada yang bertentangan maka itu hanya pada dzahirnya saja, tidak pada hakikatnya. Oleh karena itu, pertentangan (ta’arudl) harus dihilangkan. Jika memungkinkan maka yang bertentangan ini dapat dijam’u dan jika tidak memungkinkan baru ditarjih. Karena menggunakan 2 dalil lebih baik daripada menggunakan satu dalil atau menghilangkan satu dalil.
a. Menjam’u didahulukan sebelum mentarjih
Menjam’u hadis-hadis sahih yang pada zhahirnya bertentangan adalah suatu perkara yang sangat penting dalam memahami sunnah dengan sebaik-baiknya.
Contoh kasus yang berkaitan dengan hal ini:
1. Hadis mengenai ziarah kubur
Hadis tentang larangan wanita berziarah ke kuburan diantarannya yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
ان رسول الله صم لعن زوارات القبر (رواه الترمذي وابن ماجه واحمد)
Artinya: sesungguhnya Rasulullah saw melaknat wanita (yang sering sekali) menziarahi kubur. H.R. at-Tirmidzi, ibnu Majah dan Ahmad.
Hadis di atas bertentangan dengan hadis yang membolehkan wanita berziarah ke kuburan, diantaranya:
عن عبد الله بن بريدة من رواية محارب بن دثار عنه عن أبيه قال قال رسول الله {صلى الله عليه وسلم} كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها (متفق عليه(
Artinya: Dari Abdullah bn BUraidah, dari riwayat Maharib bin Disar darinya, dari bapaknya, ia berkata:Rasulullah saw bersabda: dulu saya melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah. H.R. Muttafaqun ‘alaih
Meskipun hadis-hadis yang membolehkan lebih banyak dan lebih kuat, akan tetapi masih bisa dilakukan jam’u. Caranya adalah larangan yang disebutkan dalam hadis itu sebagaimana perkataan al-Qurthubi adalah ditujukan untuk wanita yang terlalu sering berziarah ke kuburan, karena dalam hadis larangan disebutkan زَوَّارَاتِ dengan shighat muballaghah, bisa juga karana mengurangi perhatiannya pada suami dan keluarga, karena dandanannya, meratap di kubur dan yang lainnya.
2. Hadis mengenai ‘azal
‘azal adalah seorang laki-laki mengeluarkan maninya di luar faraj istrinya supaya istrinya tidak mengandung. Hadis yang membolehkan diantaranya:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى. قَالَ « كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ (رواه ابو داود)
Artinya: dari abu Sa’id al-Khudri, sesungguhnya seorang laki- laki berkata: wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan 'azl terhadapnya, serta tidak ingin ia hamil, aku menginginkan apa yang diinginkan laki-laki, sementara orang-orang yahudi mengatakan; bahwa 'azl adalah pembunuhan kecil. Beliau berkata: "Orang-orang yahudi telah berdusta, seandainya Allah menghendaki untuk menciptakannya, maka mereka tidak akan dapat berpaling darinya." (H.R. Abu Dawud)
Akan tatapi, ada beberapa hadis yang melarang ‘azal sebagaimana dalam hadis di bawah ini:
عن جدامة قالت حضرت رسول الله {صلى الله عليه وسلم} في أناس وهو يقول لقد هممت أن أنهى عن الغيلة فنظرت في الروم وفارس فإذا هم يغيلون أولادهم فلا يضر أولادهم ذلك شيئاً ثم سألوه عن العزل فقال رسول الله {صلى الله عليه وسلم ذلك الوأد الخفي وهي ( وإذا الموءودة سئلت (متفق عليه)
Artinya: dari Judamah binti, dia berkata; Saya hadir waktu Rasulullah bersama orang-orang, sedangkan beliau bersabda: "Sungguh saya bertekad untuk melarang ghilah, setelah saya perhatikan orang-orang Romawi dan Persia, mereka melakukan ghilah, ternyata hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka sedikit pun." Kemudian mereka bertanya mengenai azl, Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Itu adalah pembunuhan secara tidak langsung”. Muttafaqun ‘alih.
Jumhur ulama (fuqaha) membolehkan ‘azal, kecuali pada wanita merdeka haruslah disertai izin dan kerelaan darinya. Al-Baihaqi mengkompromikan hadis-hadis yang bertentangan itu dengan membawa larangan tersebut bersifat tajih (dijauhi). Ibnu Qayyim mengatakan ذلك الوأد الخفي adalah hanya bertujuan membunuh tanpa adanya perbuatan pembunuhan secara langsung, sedangkan أنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى adalah tujuan dan perbuatan pembunuhan secara langsung. Pengkompromian yang dilakukan oleh Ibnu Qayyim memang cukup kuat. Beliau juga menghukumi bahwa hadis dari Judamah itu adalah hadis dha’if. Ada juga yang mendhaifkan hadis Judamah, karena menyelisihi dalil yang lebih banyak jalurnya. Al-Hafidz mengatakan, ini adalah pendhaifan yang hanya didasarkan dengan tawahum (keraguan dan ketidak jelasan) saja, karena hadis sahih tetaplah sahih selama masih mungkin untuk di jam’u.
b. Nasakh dalam hadis
Nasakh dalam hadis digunakan jika ada hadis yang saling bertentangan yang tidak dapat dikompromikan dan tidak ditemukan mana yang lebih kuat. Nasakh dalam hadis lebih banyak daripada dalam al-Qura’n. Dalam banyak kasus ada hadis-hadis yang dinasakh tapi sebenarnya tidak, bisa dikarenakan karena ada hadis yang berbentuk azimah terkesan bertentangan dengan yang berbentuk rukhsah padahal bisa sama-sama berlaku. Ada hadis yang berkaitan dengan keadaan tertentu, dan hadis lain juga berkaitan dengan keadaan yang lain. Maka perbedaan keadaan tersebut bukan menunjukkan kepada nasakh. Seperti hadis tentang menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari, ada yang membolehkan dan ada yang melarang.
Imam al-Baihaqi menukil dari imam as-Syafi’i: selama hadis-hadis itu bisa diamalkan maka lebih baik diamalkan daripada menghilangkan salah satunya. Jika ada hadis yang saling bertentangan maka ada 2 kemungkinan:
1. Ada diketahui nasikh dan mansukh
2. Tidak diketahui adanya nasikh dan mansukh, kita tidak boleh menguatkan satu dan melemahkan yang lain tanpa adanya sebab yang menguatkan atau melemahkan.
Hadis-hadis yang diriwayatkan itu ada tiga jenis:
1. Hadis yang sudah disepakati oleh pera ulama akan kesahihannya.
2. Hadis yang sudah disepakati oleh pera ulama akan kedahifannya.
3. Hadis yang dinyatakan sahih oleh sebagian ulama dan dianggap dhaif oleh ulama lain, dikarenakan adanya beberapa hal yang belum diketahui bersama atau disepakati bersama.
Jenis yang ketiga ini menjadi kewajiban ulama hadis mutaakhir membuat kajian tentang perselisihan pendapat mereka dan berusaha untuk mengetahui cara mereka menerima sebuah hadis atau menolaknya. Kemudian mereka haruslah memilih pendapat yang paling kuat.
Pemahaman hadis yang bagus diantaranya adalah melihat hadis dengan sebab-sebab khusus mengapa hadis itu berlaku, atau adanya illah (alasan) tertentu. Maka seorang ahli hadis akan menemukan ada hadis yang hanya mengenai waktu dan keadaan tertentu untuk mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat atau untuk meluruskan masalah yang ada saat itu. Artinya, ada hadis mengenai hukum tertentu yang dzahirnya nampak berlaku secara umum dan selamanya, akan tetapi ketika ada illahnya, maka hukum itu berlaku jika ada illahnya dan tidak belaku jika illahnya hilang.
Sabab nuzul sangat membantu dalam memahami al-Qur’an, maka sabab wurud akan lebih dibutuhkan untuk meahami hadis. Karena al-Qur’an bersifat umum dan berlaku selamanya. Sedangkan hadis tidak semuanya seperti itu, banyak hadis yang menjelaskan keadaan tertentu dalam waktu tertentu. Maka harus dibedakan antara yang amm dari yang khas, yang sementara dengan yang kekal, juz’i dan kulli,melihat syiyakul kalam, mulabasahnya (keterkaitannya) dan sebab-sebab lain yang membantu dalam memahami hadis.
Contoh:
a. Hadis tentang انتم اعلم بعمور دنياكم (kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian)
Hadis itu sering digunakan orang untuk tidak melakukan hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, manajemen dan lain-lain. Karena mereka berpendapat bahwa rasul sudah menyerahkan urusan ini kepada kita yang lebih mengetahuinya daripada rasul. Sebenarnya maksud hadis tersebut tidak seperti itu, karena Allah mengutus rasul untuk meletakkan dasar keadilan, hak dan tanggung jawab,serta kewajiban mereka di dunia supaya mereka tidak tersesat, dan mereka mempunyai parameter yang jelas. Banyak nas yang menjelaskan tentang muamalah, jual-beli, sewa-menyewa dan lain sebagainya. Hadis di atas haruslah difahami dengan melihat sabab wurud yang ada. Yakni tentang penyerbukan pohon kurma.
b. Hadis tentang perempuan bepergian bersama mahram
Diantara hadisnya itu terdapat dalam sahih al-Bukhari dan sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
لا تسافر امراة الا ومعها محرم
Artinya: janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama dengan mahramnya.
Illah hadis di atas adalah karena adanya kekhawatiran keselamatan bagi perempuan tersebut, karena perginya dengan menunggang onta atau keledai yang melewati padang pasir yang tidah berpenghuni, jika ia selamatpun masih akan adanya kemungkinan nama baiknya jadi tercemar.
Kalau kita perhatikan pada zaman sekarang ini, Illat pada hadis itu sudah hilang, karena orang bepergian jauh telah menggunakan pesawat terbang atau kereta api dan lain sebagainya. Maka seorang wanita boleh bepergian tanpa mahramnya, hai ini juga dikuatkan oleh hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh ‘Adi bin Hatim yang terdapat dalam sahih al-Bukhari:
يوشك ان تخرج الظعينة من الحيرة تقدم البيت اي الكعبة لا زوج معه
Artinya: akan ada seorang wanita keluar dari Hirah menuju ka’bah tanpa suaminya (H.R. Bukhari)
c. Hadis tentang pemimpin berasal dari suku Quraisy ((الأئمة من قريش
menurut ibnu Khaldun adanya hadis mengenai pemimpin harus berasal dari suku Quraisy karena memang keadaan saat itu yang punya kekuatan dan kekeluargaan yang besar dan kuat adalah suku Quraisy. Sehingga Rasulullah mengeluarkan hadis itu semata-mata guna menghindari perpecahan. Karena itu, hal ini dijadikan sebagai illat kenapa pemimpin itu berasal dari suku Quraisy.
Adapun metode sahabat dan tabiin dalam melihat ilah dan dzurufnya (waktu dan tempat) adalah dengan meninggalkan mengamalkan dengan dhahir nya sebagian hadis, ketika mereka mengetahui bahwa hadis itu untuk memecahkan permasalahan pada zaman nabi. Kemudian keadaan telah berubah dari apa yang telah terjadi pada zaman Rasulullah.
Contohnya ketika nabi membagi tanah penaklukan di Khaibar untuk para mujahid, akan tetapi Umar tidak berbuat demikian di Irak, malainkan tetap dimiliki oleh tuan tanahnya, dengan ketentuan harus membayar kharaj. Menurut Ibnu Qudamah bahwa yang dilakukan umar saat itu sudah pas dengan keadaan saat itu.
Contoh lain yaitu ketika Rasulullah ditanya tentang unta yang tersesat maka Rasulullah menyuruh untuk membiarkannya sehingga yang punya bias menemukannya. Di zaman Umar, unta yangtersesat ditangkap dan diiklankan kemudian jika yang punya dating, unta itu diserahkan pada pemiliknya. Sedangkan di zaman Ali, unta itu ditangkap dan dipelihara, jika dirasa merugikan boleh dijual dan uangnya diberikan kepada pemiliknya, atau dipelihara dengan uang dari baitul mal.
Nas-nas yang disandarkan pada kebiasaan yang terjadi di zaman Rasulullah, kemudian kebiasaan tersebut berubah pada zaman sekarang maka hal tersebut diperbolehkan. Seperti pada zaman Rasulullah, jual beli kurma, gandum dengn menggunakan takaran. Abu Yusuf berpendapat bahwa saat ini yang lebih mudah adalah dengan timbangan dan itu juga yang sudah menjadi urf.
5. Membedakan antara wasilah (perantara yang berubah-ubah) dan tujuan yang tetap dari sebuah hadis.
Salah satu kesalahan memahami al-Sunnah ialah terdapat orang yang belum bisa membedakan antara wasilah dan tujuan, sehingga mereka menggunakan wasilah seolah itu adalah sebuah tujuan. Sebaliknya bagi orang yang benar-benar memahami al-Sunnah dan hikmah-hikmahnya, mereka akan lebih memahami tujuan hadis yang kekal dan tetap serta tidak selamanya menggunakan wasilah yang ditunjukkan oleh Nabi saw karena wasilah bisa berubah mengikut tempat, waktu, adat dan sebagainya.
Setiap cara akan berubah dari satu zaman ke satu zaman yang lain dan satu keadaan ke satu keadaan yang lain. Maka apabila terdapat nas mengenai salah satu daripada cara-cara tersebut, itu adalah untuk menjelaskan bahwa ada cara yang sesuai pada masa itu dan tidak semestinya kita terikat dengan cara tersebut.
Sebagai contoh, sebagian mereka yang mempelajari al-Sunnah berkaitan dengan perobatan menurut Nabi saw yang hanya menggunakan kepada obat, makanan, biji-bijian dan lainnya untuk sembuh dengan mengemukakan beberapa hadis yang masyhur sebagai berikut:
خَيْرُ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ
Artinya: Sebaik-baik yang gunakan untuk berobat adalah berbekam. (H.R. Ahmad, ath-Thabrai dan al-Hakim dan ia mensahihkannya)
فِي الْحَبَّةِ السَّوْدَاءِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلاَّ السَّامَ
Artinya: Terdapat di dalam al-habbah al-sauda’ penyembuhan daripada segala penyakit kecuali mati. (Muttafaq ‘alaih)
Menurut pendapat saya (Qardhawi), apa yang disebut pada hadis di atas bukan merupakan ruh perobatan Nabi saw, tetapi sebenarnya adalah ruh pengajaran kesehatan dan kehidupan manusia. Ia merupakan kewajiban manusia untuk beristirahat ketika lapar dan makan ketika lapar serta berobat ketika sakit.
Perubahan zaman ke satu zaman dan keadaan ke satu keadaan sudah pasti akan mengenal cara perobatan yang berbeda dan cara yang tertentu. Hadis-hadis di atas hanya untuk menjelaskan cara yang sesuai pada zaman nabi dan tidak sekali-kali kita hanya terikat dengan cara perobatan tersebut.
Contoh kedua ialah mengenai peralatan peperangan yang terdapat pada hadis Nabi saw. Hadisnya sebagai berikut:
مَنْ رَمَى بِسَهْمٍ فِي سَبِيلِ اللهِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا
Artinya: Sesiapa yang memanah dengan anak panah karena perang di jalan Allah, maka baginya (pahala) begini dan begini. (H.R. Ahmad, ath-Thabrani, al-Hakim, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi)
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka. (Al-Anfal: 60)
Dalam keadaan dan zaman sekarang, maka kita harus menyiapkan tank, pesawat termpur, bom dan pistol. Coba bayangkan jika kita masih menggunakan anak panah sedangkan musuh menggunakan senapang dan nuklir. Sudah pasti umat Islam akan kalah di medan peperangan.
Contoh ketiga ialah Nabi saw telah menentukan cara membersihkan gigi dengan menggunakan siwak. Supaya gigi kita putih dan bersih.
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Artinya: Bersiwak itu membersihkan mulut dan mendatangkan keredhaan Allah.(H.R. Bukhari, Ahmad dll)
Nabi menerangkan suatu yang dapat menyampaikan kepada tujuan dan benda itu tidak menyusahkan. Di negara yang sulit untuk mendapatkan kayu siwak boleh menggunakan alat lain yang bisa digunakan untuk jutaan manusia seperti sikat gigi. Ini juga termasuk timbangan dan takaran serta hisab dan rukyat.
6. Membedakan antara yang hakiki dan yang majazi dalam memahami sebuah hadis.
Bahasa Arab mengandungi banyak majaz (kiasan). Majaz yang terdapat di dalam ilmu balaghah lebih kuat kedudukannya daripada hakikat. Nabi saw adalah seorang berbangsa Arab yang paling tinggi bahasanya. Ditambah lagi dengan perkataannya yang merupakan wahyu dari Allah swt. Oleh karena itu, tidak heranlah jika hadis nabi banyak mengandungi majaz yang menerangkan suatu maksud dengan bahasa yang sangat indah. Maksud majaz di sini adalah: Majaz dari segi bahasa, yaitu akal, isti’arah, kinayah, dan semua yang tidak menunjukkan pada makna aslinya.
Terkadang, suatu percakapan itu mesti dipahami sacara majaz. Jika tidak, akan membawa kepada kesalahan dan kekeliruan.
Contoh pertama ialah ketika Nabi bersabda kepada istri-istrinya:
أَسْرَعُكُنَّ بِي لِحَاقًا أَطْوَلُكُنَّ يَدًا
Artinya: Orang yang paling cepat mengikuti aku ialah yang paling panjang tangannya.
Istri-istri Nabi saw memahami kata-kata tersebut dengan makna hakikat. Menurut ‘Aisyah r.a, mereka mengukur siapakah yang paling panjang tangannya. Dalam satu riwayat, mereka mengambil sebatang kayu untuk mengukur siapakah yang paling panjang tangannya. Padahal, maksud Nabi ialah siapakah di antara mereka yang lebih banyak melakukan kebaikan.
Contoh kedua mengenai hadis:
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya: Setelah benang putih dan hitam sudah jelas kelihatan pada waktu fajar, makan sempurnakanlah puasa kalian hingga ke malam hari.
Ada sahabat yang menaruh benang hitam dan putih dibawah bantal dalam memahami sabda Nabi saw di atas. Padahal yang dimaksud Nabi saw adalah putih tanda waktu siang dan hitam tanda kegelapan malam.
-Waspada Terhadap Kelonggaran Dalam Takwil Majaz
Menurut saya (Qardhawi), mentakwil hadis atau nas dari maknanya yang asal tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim kecuali ada sebab-sebab tertentu dari pandangan akal dan nas.
Takwil terhadap majaz akan ditolak jika tanpa sebab yang munasabah atau menyeleweng. Penggunaan makna hakikat juga akan ditolak jika tidak sesuai dengan akal yang sehat, syariat, ilmu pengetahuan dan kenyataan.
Sebabnya adalah, keberadaan majaz banyak terdapat pada hadis maupun ayat hokum. Maka sebagian ulama berpendapat bahwa para ahli fikih adalah seorang ahli bahasa, sehingga memiliki pemahaman terhadap teks, sebagaimana pemahaman para sahabat atau orang arab terdahulu terhadap teks.
Akibat mengabaikan pembedaan antara majaz dah hakikat, ia membawa pelbagai kesalahan, seperti memberi fatwa haram, wajib, bid’ah dan fasik, sehingga saling mengkafirkan.
Contoh kasus hadis:
مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ
Artinya: Sesiapa yang memotong pohon bidara, Allah halalkan kepalanya ke neraka.
Ada yang mengatakan bahwa perkara ini hanya berlaku untuk pohon bidara yang ada di Tanah Haram. Maka pohon yang selebihnya tidak termasuk dalam hokum haram tersebut. Tetapi ketika dilihat di Sunan Abu Dawud, ia mengatakan bahwa hadis ini adalah ringkasan dari hadis berikut:
مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً فِى فَلاَةٍ يَسْتَظِلُّ بِهَا ابْنُ السَّبِيلِ وَالْبَهَائِمُ عَبَثًا وَظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ يَكُونُ لَهُ فِيهَا صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِى النَّارِ
Artinya: Sesiapa yang memotong pohon bidara di kawasan tanah lapang yang dimanfaatkan oleh para musafir dan binatang sebagai tempat teduh tanpa sebab yang benar, maka Allah akan menghalalkan kepada orang yang menebang itu ke neraka.
Ibnu Taimiyah menolak penggunaan majaz. Syeikhul Islam menolak majaz karena beliau ingin menutup pintu para mu’atillah yaitu pentakwil yang berlebihan mengenai sifat Allah. Beliau ingin menghidupkan apa yang dilakukan oleh ulama salaf yaitu menetapkan kepada sesuatu Allah tetapkan untuk dirinya sendiri dan menadakan apa yang ditiadakan dari diri Allah. Akan tetapi ia berlebihan karena juga menafikan majaz secara keseluruhan.
Yusuf Qaradawi mengatakan mengenai sifat-sifat Allah dan sesuatu yang berkaitan dengan alam ghaib dan akhirat, yang paling baik adalah kita tidak mendalami takwilnya kecuali ada dalil yang menunjukkannya dan kita serahkan kepada orang yang mengetahuinya.
7. Membedakan antara yang ghaib dan khdpan nyata.
Sunnah menyebutkan tentang hal yang ghaib, sebagian yang ada dalam alam ini akan tetapi tidak dapat dilihat seperti jin, malaikat dan sebagian lagi ada di kehidupan alam barzakh, seperti nikmat dan siksa kubur, sebagian lagi berkaitan dengan alam akhirat, yang dimulai dengan bangkit dari kubur, ada neraka surga dll.
Dalam masalah ini kita wajib menerima hadis-hadis yang telah disahihkan, kita tidak boleh menolaknya hanya karena itu bertentangan dengan pengetahuan yang kita miliki. Nas yang sahih tidak akan bertentangan dengan akal, jika bertentangan maka ada kemungkinan nas itu yang salah atu akal itu tidak waras. Mu’tazilah menolak hadis-hadis sahih yang jauh dari pemikiran mereka, seperti mereka menolak adanya pertanyaan, nikmat dan siksa kubur.
Imam as-Syatibi mengetakan: ahli bid’ah dan penyelewengan mengingkari hadis-hadis sahih yang tidak sesuai dengan kehendak mereka dan mazab mereka, dan mengatakan itu semua bertentangan dengan akal dan tidak pantas dijadikan dalil, bahkan mereka berani mencela para sahabat, tabi’in dan para ulama hadis di depan umum supaya khalayak umum membenci ulama hadis dan tidak mengamalkan sunnah. Permasalahan mendasar yang membuat mereka menolak hadis-hadis itu adalah karena meraka mencoba membandingkan perkara ghaib dengan perkara yang nyata, padahal keduaya tidak dapat dibandingkan dan tidak sama. Ibnu Abbas pernah berkata: tidak ada satupun yang ada di dunia ini sama dengan yang ada di surga, kecuali hanya namanya.Apa bia kita menemukan hadis sahih yang berhubungan dengan akhirat, maka yang seharusnya kita lakukan adalah mengimaninya.
8. Penelitian terhadap makna lafaz-lafaz hadis.
Ini sangat penting karena dalalah atau makna lafadz hadis itu berbeda dari satu waktu dengan waktu yang lain, satu tempat dengan tempat lain karena adanya perkembangan bahasa dan lafaz yang dipengaruhi oleh waktu dan tempat.
Mengenai definisi dari lafadz-lafadz hadis sudah ada banyak kitab yang membahasnya, akan tetapi yang menjadi masalah adalah bagaimana penggunaan lafdz tersebut untuk masa sekarang, misalnya untuk benda atau kegiatan yang belum ada pada zaman nabi seperti foto digital. Ini sangat penting karena akan berpengaruh pada hukum suatu hal.
Mayoritas orang arab mengatakan orang yang memiliki kamera adalah mushawwir, sedangkan perbuatannya adalah tashwir,
Padahal dalam hadis dari aun bin juhaifah dari bapaknya:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْأَمَةِ وَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ
Artinya: Sesungghunya Rasulullah saw telah melarang harga (uang hasil jual beli) darah, anjing dan melarang orang yang membuat tato dan yang minta ditato dan pemakan riba' dan yang meminjam riba serta melaknat pembuat patung".(H.R. Bukhari)
Akibat hukumnya adalah pemilik kamera mendapatkan laknat dari Allah. Kewajiban kejelian dan teliti ketika mensyarah mufradat sehingga jelas maksud dari nash, mencoba menyesuaikan dengan tujuan pemilik kalimat dan memsesuaikan dengan makna yang berkaitan.
Hal diatas menjadi wajib jika nash itu berhubungan dengan nash agama seperti al-Qur’an dan hadis. Sebagian lafaz terkadang sudah jelas hanya dengan mengembalikan lafaz itu kekamus-kamus bahasa, kitab-kitab gharibul hadis.
Sebagian lafaz berubah dari hakiki menjadi majaz, dari yang sharih menjadi kinayah. Sebagian lafaz dikuluarkan oleh agama dari hakikat bahasanya dan memberinya makna baru yang belum pernah ada sebelumnya, seperti lafz salat, taharah, wudhu dan tayamum. Dan sebagian lafaz tidak difahami kecuali dalam perspektif konteksnya dan tujuannya dan keterkaitan sabab wurudnya.
Dalam pembahasan tarjih, sebaiknya diberikan kriteria-kriteria pentarjihan sebagaimana yang ada dalam buku manhaj tarjih muhammadiyah yang dikarang oleh pak Asmuni Abdurrahman bab I. Pembahasannya banyak yang terlalu melebar, sehingga bagi pemula akan susah memahaminya.
Kesimpulan:
Memahami haddis dengan pemahaman yang benar adalah sebuah kewajiba, maka dari itu sangat perlu untuk menggunakan metode-metode yang telah terpaparkan di atas agar tidak salah dalam memahami makna suatu hadis, sehingga tujuan atau ruh, semangat dari hadis tersebut lebih bisa teraplikasikan.
Post a Comment for "Resensi Kitab Kaifa Nataammal Maa as-Sunnah an-Nabawiyyah Yusuf Qardhawi Full Bagian 2"