Ijtihad Umar Ibn Khattab: Studi Maqâshid al-Syarî’ah
(Diterbitkan di Majalah Suara Muhammadiyah tagl 1-15 N0v 2013 dengan judul Ijtihad Umar ibn Khattab)
Agama islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Agama
yang mengajarkan kebaikan dan perbaikan-perbaikan kepada manusia di muka bumi
ini. Dengan kata lain ajaran-ajaran agama dalam syariat islam itu bertujuan
untuk kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia sendiri. Secara etimologis Maqâsid
al-Syarîah berasal dari dua kata yaitu Maqasid dan Syariah. Maqasid
merupakan bentuk jamak dari kata maqsid yang berakar kata dari kata qashada
yaqshudu qashdan yang artinya kesengajaan atau tujuan. Sedangkan Syariah
menurut Mahmud Saltut ialah aturan-aturan
yang diciptakan Allah swt untuk menjadi pedoman manusia
dalam mengatur hubungan dengan
Allah, manusia (baik sesama
muslim atau non muslim), alam dan
seluruh kehidupan. (Mahmud Saltut, Islam, Aqîdah wa Syarîah, hal. 22). Sedangkan ijtihad secara harfiyah merupakan bentuk masdar dari kata
kerja ijtahada yajtahidu ijtihâdan yang berarti mencurahkan segala
kemampuan dan menanggung beban. Al-Ghazâli (w. 505 H) dalam kitab ushul
fikihnya al-Mustashfâ Min Ilmi al-Ushûl memberikan definisi ijtihad
sebagai berikut:
بَذْلُ الْمُجْتَهِدِ
وُسْعَهُ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ بِأَحْكَامِ الشَرْيْعَةِ
Artinya: “Kesungguhan
Mujtahid untuk mencurahkan kemampuan maksimal untuk menemukan hukum-hukum
syara’”. (Abu Hamid al-Ghazaliy: 478)
Saifudin al-Amidiy (w.631
H) dalam al-Ihkam Fî Ushûl al-Ahkâm yang datang belakangan memberikan
definisi ijtihad sebagai berikut:
اِسْتِفْرَاغُ الوُسْعِ فِيْ طَلَبِ الظَنِّ لِشَيْءٍ مِنْ الأَحْكَامِ
الشَرْعِيَّةِ عَلَى وَجْهٍ يَحُسُّ مِنَ النَفْسِ العَجْزُ عَن المَزِيْدِ فِيْهِ.
Artinya: “Mencurahkan
segala kemampuan dalam mencari hukum-hukum syariah yang bersifat dzanny dalam
batas-batas sampai pada keyakinan bahwa dirinya tidak mampu lagi berusaha dari
itu. (Saifudin al-Amidiy, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, vol. IV, hal.
141).
Secara umum ijtihad
itu dapat dikatakan suatu upaya berpikir secara optimal dalam menggali hukum
Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang
muncul dalam masyarakat. (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal. 216).
Sosok Umar bin al-Khattab
dalam khasanah pemikiran hukum islam sungguh sudah tidak asing lagi di benak kaum
muslimin. Pasalnya beliau adalah sosok sahabat Nabi yang banyak andil dalam
berbagai urusan ummat ini. Dalam aspek perkembangan dan pembentukan hukum islam
pun beliau turut memberi warna dengan ijtihad-ijtihadnya yang sangat
berpengaruh. Tidak ada yang meragukan tentang kapasitas seorang Umar. Umar
adalah seorang sahabat Nabi yang kuat daya pikirnya, pandai, kreatif, cekatan,
tinggi daya analisisnya, jauh pandangannya dan hati-hati (tidak sembrono atau
tergesa-gesa). Hal ini bisa dilihat berbagai riwayat tentang umar. Dalam Tarikh
Tasyri’ Islami ada sebuah riwayat bahwa Umar meminta mendatangkan saksi atas
hadis yang dikatakan oleh salah seorang sahabat, maka Umar berkata: “Saya
tidak menuduhmu, tetapi saya senang untuk tidak tergesa-gesa”. Kepandaian
Umar telah dirintis sejak ia masih kanak-kanak ketika belajar membaca dan
menulis, yang kemudian ditopang dengan kegemarannya untuk membahas beragam
masalah ketika ia beranjak dewasa. Berbagai masalah yang ditugaskan kepadanya
diselesaikannya dengan gemilang. (Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad,
hal.26).
Berbicara
mengenai maqâsid al-syarî’ah, tujuan umum syari’ dalam mensyari’atkan
hukum-hukumnya ialah untuk mewujudkan kemaslahatan menusia dengan menjamin
hal-hal yang sifatnya dharuriy (pokok), hajjiyyat dan tahsiniyyat.
Apabila semua kebutuhan tersebut terpenuhi maka kemaslahatan akan terwujud.
Syari’ (Allah) tidak akan mensyari’atkan suatu hukum kepada manusia melainkan
pasti mengandung maslahat baginya. Kebutuhan dharury ialah kebutuhan
yang menjadi landasan pokok berlangsungnya kehidupan manusia dan harus ada
dalam rangka konsistensi kemaslahatan mereka. Apabila hal itu tidak ada maka
struktur kehidupan manusia akan rusak dan kacau.
Konsep dharury
dalam tujuan syara’ yang berhubungan dengan makhluk ada
lima, yaitu
a. Menjaga agama (hifdz ad
din)
b. Menjaga jiwa (hifdz
nafs)
c. Menjaga akal (hifdz
aql)
d. Menjaga keturunan (hifdz
nasl)
e. Menjaga harta (hifdz
mal)
Sudah jelas bahwa agama islam mensyariatkan berbagai hukum dengan berbagai
ragam aspek ibadah dan muamalah serta hukuman yang dimaksudkan untuk menjamin sesuatu
yang bersifat dharuriy bagi manusia dengan mewujudkan, memelihara dan
menjaganya. Selanjutnya islam menjamin pemeliharaan yang dharuriy
tersebut dangan cara memperbolehkan hal-hal yang terlarang dalam islam karena
keadaan dharurat, tentunya hal tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan
syara’. Oleh karena itu hal-hal yang mengandung upaya menjaga lima perkara
pokok tersebut adalah maslahat. Sebaliknya, setiap hal yang tidak mengandung
lima perkara pokok tersebut adalah mafsadah, dan menolaknya termasuk maslahat.
Secara historis telah kita ketahui bahwa Nabi pun sangat memberikan perhatian
dalam aspek maqasid al-syaria’ah ini. Ibnu Qayyim menyebutkan dalam I’lâmul
Muwaqqi’în bahwa ketika dalam
keadaan perang Nabi saw telah melarang memotong tangan orang yang mencuri hingga perang
tersebut selesai. Abu Muslim al-Kharaqi menyebutkan di dalam Mukhtashar-nya
seraya berkata: had (hukuman) atas seorang muslim tidak dilakukan di daerah
musuh. Pada suatu kesempatan, Basyr bin Arthah membawa seorang diantara para
prajurit perang yang mencuri sebuah perisai, seraya berkata: “seandainya aku
tidak pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Hukuman potong tangan tidak
dilaksanakan pada saat perang” aku pasti akan memotong tanganmu”. Hal ini
karena dikhawatirkan akan merembet pada sesuatu yang lebih dibenci Allah swt.
Hukuman potong tangan yang seharusnya dilaksanakan pada orang yang mencuri
tidak dilaksanakan karena suatu kemaslahatan yang dikehendaki oleh syara’ dan
sekaligus menepis suatu stigma yang menyatakan bahwa hukum islam itu jauh dari
kemaslahatan. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, vol IV, I’lâmul Muwaqqi’în,
hal. 340-341).
Diantara kasus-kasus yang pernah disentuh oleh
ijtihad-ijtihad umar antara lain:
1.
Tentang Pencuri yang Tidak Dipotong Tangan.
Pada masa Rasulullah saw dan Khalifah yang
pertama yaitu Abu Bakar setiap pencurian yang sudah melewati satu nisab curiann
maka dikenai hukuman potong tangan. Berdasarkan firman Allah swt dalam QS.
Al-Maidah: 38 berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [٥:٣٨]
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah: 38)
Allah Swt berfirman memutuskan dan
memerintahkan agar tangan pencuri laki-laki dan perempuan dipotong. Dahulu pada
masa Jahiliyah hukum potong tangan ini telah berlaku kemudian disetujuai oleh
islam dan ditambahkan kepadanya mengenai syarat-syarat lain. Perihalnya sama
dengan diat, qirad dan lain-lainnya yang syariat datang dengan menyetujuinya
sesuai dengan apa adanya disertai dengan beberapa tambahan demi menyempurnakan
kemaslahatan. Dahulu yang mula-mula mengadakan hukum potong tangan pada masa
jahiliyah adalah kabilah Quraisy. Mereka memotong tangan seorang laki-laki yang
dikenal dengan nama Duwaik maula Bani Malih ibnu Amr, dari kabilah Khuza’ah.
Karena mencuri harta perbendaharaan ka’bah. Menurut pendapat yang lain, yang
mencurinya adalah suatu kaum, kemudian mereka meletakkannya di rumah Duwaik.
(Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-adzim, vol II, hal.71-74).
Pada masa Rasulullah, pencuri yang pertama
yang dihukum potong tangan adalah Khiyar bin A’dy bin Naufal bin Abdi Manaf,
sedangkan pencuri perempuan adalah Marrah binti Sufyan bin abdil Asad dari Bani
Mahzum. Pada masa Abu Bakar pencuri yang pertama yang dihukum potong tangan
adalah Asma’ binti ‘Umais sedangkan pada masa Umar adalah Ibnu Samrah.
(Abdurrahman al-Jazairy, al-Fiqh ‘Ala Madzâhib al-“Arba’ah, vol. V,
hal.157-158).
As-Sa’di berkata mengenai keputusan Umar
tentang budak-budak Hathib, sesungguhnya
budak-budak kepunyaan Hathib bin Abi Balta’ah telah mencuri unta untuk seorang
laki-lak dari Muzainah. Umar mendatangi mereka dan mereka mengakui hal itu.
Kemudian Umar menulis surat kepada Abdul Rahman bin Hathib yang kemudian datang
menghadap Umar. Umar berkata kepadanya, sungguh budak-budak Hathib telah
mencuri unta seorang laki-laki dari Muzainah dan mereka semua mengakui hal itu.
Kemudian Umar menyuruh Katsir bin Al-Shalt pergi dan memotong tangan-tangan
mereka. Lalu tiba-tiba mendadak Umar menarik kembali keputusannya dan berkata, “Demi
Allah, jika saja saya tidak tahu kalian yang telah menyebabkan mereka melakukan
itu dan juga menjadikan mereka kelaparan sehingga mereka mencuri dan hal yang
harampun menjadi halal bagi mereka niscaya akan saya potong tangan-tangan
mereka”. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, I’lâmul Muwaqqi’în, vol. IV,
hal.350-352). Kemudian pencuri itu pun segera dibebaskan dari hukuman potong
tangan atas dasar pendapat Umar tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa as-Sai’idy
dengan mengutip perkataan Umar berkata, “tidaklah dipotong tangan pencuri
karena “idzqi” dan pada waktu itu “ami sanah”. Imam Ahmad bin Hambal
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan idzqi tersebut adalah nakhlah, yaitu
sebiji kurma dan ami sanah adalah maja’ah yaitu kelaparan. Jadi maksud ucapan
Umar tersebut ialah “Tidak dipotong tangan pencuri yang melakukan perbuatan
pencurian terhadap sebiji kurama pada musim kelaparan”. (Atho Mudzhar,
hal.54).
Dari uraian tersebut dapat ditangkap bahwa
latar belakang pemikiran Umar dalam hal ini adalah karena pada waktu itu adalah
musim kelaparan/paceklik sehingga orang mencuri belum tentu didorong oleh
kejahatan jiwanya tetapi karena didorong oleh keterpaksaan karena mempertahankan
hidupnya. Dengan kata lain pencuri tersebut melakukannya karena kebutuhan dharury
dan Umarpun melakukannya dalam rangka menjaga kemaslahatan sebagai point
penting dari tujuan-tujuan syariat itu sendiri.
2.
Tentang Mu’allafah Qulûbuhum
Mu’allafah Qulûbuhum merupakan golongan yang
diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap
islam atau terhalangnya niat jahat atas kaum muslimin atau diharapkan manfaat
mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh. (Yusuf Qardhawi, Fikih
Zakat, hal.563). Golongan Mu’allafah Qulûbuhum ini merupakan bagian dari
orang-orang yang mendapatkan bagian zakat sebagaimana firman Allah dalam
al-Quran Surat at-Taubah: 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ
فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [٩:٦٠]
“Sesungguhnya zakat-zakat
itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS. at-Taubah:60).
Golongan ini tidak hanya satu jenis saja, akan tetapi Mu’allafah Qulûbuhum
itu mempunyai beberapa kategori yaitu:
Pertama, golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman kelompok atau keluarganya,
seperti halnya Safwan bin Umayyah yang pada waktu Fathul Makkah diberikan
jaminan keamanan oleh Rasulullah saw.
Kedua, golongan yang dikhawatirkan kejahatannya. Mereka ini dimasukkan kedalam
kelompok mustahik zakat dengan harapan dapat mencegah kejahatannya.
Ketiga, golongan orang yang baru masuk islam. Mereka perlu diberi zakat agar
bertambah mantap keyakinannya terhadap islam.
Keempat, pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah masuk islam dan mempunyai
sahabat-sahabat orang kafir. Dengan memberikan meraka bagian zakat diharapkan
dapat menarik simpati mereka untuk memeluk islam.
Kelima, pemimpin dan tokoh yang berpengaruh di kalangan kaumnya akan tetapi
imannya masih lemah. Mereka diberikan zakat dengan harapan imannya menjadi tetap
dan kuat.
Keenam, kaum muslimin yang bertempat tinggal dibenteng-benteng dan daerah-daerah
perbatasan dengan musuh. Mereka diberi dengan harapan dapat mempertahankan diri
dan membela kaum muslimin lainnya yang tinggal jauh dari benteng itu dari
serbuan musuh.
Ketujuh, kauam muslimin yang membutuhkannya untuk mengurus zakat orang yang tidak
mau mengeluarkan kecuali dengan paksaan seperti dengan diperangi.
Semua golongan diatas termasuk dalam pengertian Mu’allafah Qulûbuhum, baik
mereka seorang muslim maupun kafir. (Yusuf
Qardhawi, Fikih Zakat, hal. 563-566).
Pada masa Rasulullah beliau memberikan zakat kepada golongan ini
sebagaimana pada nash al-Quran. Diantara yang diberi zakat dari golongan ini
ialah Safwan bin Umayyah sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim dan
at-Tirmidzi melalui jalan Said bin Musayyab bahwa Safwan bin Umayyah berkata:
“Demi Allah, Rasulullah saw telah memberiku (harta zakat) padahal beliau
adalah orang yang paling kubenci akan tetapi beliau tidak pernah berhenti
memberiku, sehingga beliau menjadi orang yang paling kusayang”. (HR. Muslim dan Tirmidzi)
Akan tetapi pada masa Umar, beliau menghilangkan golongan ini dari kelompok
ahnaf yang delapan. Hal ini tercermin dari perkataannya, Umar berkata: “Sesungguhnya
Rasulullah telah memberikan bagian kepada kamu agar hati kamu tertarik pada
islam. Akan tetapi sekarang Allah telah memperkuat agama-Nya. Terserah apakah
kamu sekalian akan tetap dalam islam, kalau tidak tidak ada hubungan antara
kalian dengan kami kecuali dengan pedang (perang)”
Sejak saat itulah golongan Mu’allafah Qulûbuhum ini tidak
lagi diberi bagian zakat. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah ijtihad Umar ini
tidak bertentangan dengan nash syar’i yang jelas? Apakah bisa ijtihad Umar tersebut
menasakh ayat al-Quran? Yusuf al-Qardhawi dalam Fikih Zakatnya menjelaskan
bahwa ijtihad Umar tersebut tidaklah bertentangan dengan nash al-Quran. Umar bin Khattab ketika
menghilangkan golongan muallaf itu tidak berarti menentang nash atau menasakh
syara’, karena zakat itu harus diberikan kepada kelompok ashnaf yang delapan
sebagaimana dalam surat at-Taubah. Apabila salah satu ashnaf tidak ada, maka
hilanglah bagiannya. Bila terjadi demikian maka jangan dikatakan bahwa hal
tersebut bertentangan dengan nash ataupun menasakh nash. Misalnya apabila tidak
ada bagian riqab untuk memerdekakan budak seperti di zaman sekarang yang
menghilangkan perbudakan perorangan, maka hilanglah bagian ini. Tetapi jangan
dikatakan bahwa hilangnya bagian ini telah menasakh al-Quran atau bertentangan
dengan nash. Bahkan Umar memahami betul spirit ayat tersebut dalam ijtihadnya.
Dalam hal ini sasaran zakat dengan golongan muallaf menunjukkan bahwa ta’lif
qulub (membujuk hati) merupakan illath menyerahkan zakat pada mereka. Maka
apabila illath itu ada mereka harus diberi. Akan tetapi bila illath itu tidak
ada maka mereka tidak perlu diberi. (Yusuf Qardhawi, Fikih Zakat, hal.571).
Abu Hanifah dan para pengikutnya berkata bahwa
Muallafah Qulubuhum telah gugur seiring dengan berkembangnya islam dan
menangnya umat islam, mereka berdalil tentang pelarangan Abu Bakar dari
memberikan zakat tersebut kepada Abu Sufyan, Uyainah Aqra’ dan Abbas bin
Mardas. Sedangkan Asy-Syaukani berpendapat boleh memberikan zakat kepada Muallafah
Qulûbuhum apabila ada kebutuhan untuk itu. Maka apabila pada pemerintahan
seorang imam/pemimpin ada suatu kaum yang tidak mau taat kepada imam kecuali
hanya dengan materi dunia sedangkan ketaatan mereka diperlukan maka mereka
boleh diberikan zakat atas nama Muallafah Qulûbuhum. (Asy-Syaukani, Nailul
Authar, vol.IV, hal.530).
Dari kebijakan Umar ini, dapat disimpulkan
bahwa keputusan Umar dengan tidak memberikan bagian zakat kepada kelompok Muallafah
Qulûbuhum merupakan bagian dari ijtihad Umar. Dalam hal ini, keputusan Umar
tersebut bukan berarti bertentangan ataupun menghapus kelompok ini dari bagian
orang yang berhak mendapatkan zakat. Akan tetapi hal ini hanyalah ijtihad Umar
yang terjadi di suatu masa dalam keadaan dan kondisi tertentu yang merupakan suatu bentuk kemaslahatan. Bisa
saja dalam suatu kondisi mereka harus diberi bagian zakat untuk mencapai
kemaslahatan yang ada. Ijtihad Umar tersebut juga tidak serta merta menghapus
kelompok Muallafah Qulûbuhum dari bagian mustahiq zakat.
3. Tentang Masalah Talak Tiga
Allah memberikan penjelasan dalam al-Quran
bahwa:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ..[٢:٢٢٩]
“Talak (yang dapat
dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik..” [al-Baqarah: 229]
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ
مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [٢:٢٣٠]
“Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui”. [al-Baqarah:230].
Dalam ayat ini Allah swt menegaskan bahwa
talak itu adalah dua kali yang boleh rujuk kembali. Apabila jatuh talak yang
ketiga kalinya maka si suami tidak boleh rujuk kembali kepada bekas istrinya
tersebut kecuali dengan akad nikah baru dan bekas istrinya tersebut telah
menikah dengan orang lain kemudian telah ditalak oleh suami keduanya.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
وَقَدْ رَوَى طَاوُسٌ
عَن ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ " كَانَ الطَلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى
الله عليه وآله وسلم وَأَبِي بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ طَلاَقُ
الثَلَاثِ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ إِنَّ النَاسَ قَدْ اِسْتَعْجَلُوْا
فِيْ أَمْرٍ كَانَتْ لَهُمْ فِيْهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ فَأَمْضَاهُ
عَلَيْهِمْ " رواه أحمد ومسلم
"Dan sungguh Thawus meriwayatkan dari ibnu
Abbas, ia berkata: bahwa talak dimasa Rasulullah saw, abu bakar dan dua tahun
dari pemerintahan Umar, talak tiga (yang dijatuhkan sekaligus) itu jatuh satu.
Kemudian Umar bin khottab berkata: sesungguhnya manusia benar-benar
tergesa-gesa dalam segala urusan yang seharusnya mereka tempuh dengan sabar,
maka alangkah baiknya kalau kami laksanakan hal itu atas mereka. Kemudian Umar
melaksanakan atas mereka" .(HR.
Ahmad dan Muslim).
Al-Syaukani menyebutkan banyak riwayat ketika
membahas mengenai bab ini dalam Nailul Authar. Beliau mengomentari dalam Nailul
Authar:
وَهذَا
كُلُّهُ يَدُلُّ على إٍجْمَاعٍهٍمْ عَلَى صٍحَّةِ وُقُوْعِ الثَلَاثِ بِالْكَلِمَةِ
الوَاحِدَةِ
“Ini semua menunjukkan
kesepakatan mereka atas sahnya talak tiga yang dijatuhkan sekaligus”..
(Asy-Syaukaniy,
Nailul Authar, vol. VI, Bab Talak yang dijatuhkan Sekaligus, hal.
616-623).
Pada awal mula masa Rasulullah dan Abu Bakar
talak yang diucapkan sekaligus tiga hanya jatuh talak satu kali. Akan tetapi
pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab talak tiga yang dijatuhkan sekaligus
tiga maka akan jatuh talak tiga sekaligus. Kebiasaan mempermainkan talak itu
dinilai oleh Umar sebagai suatu yang harus dicegah karena seakan-akan
mempermainkan talak yang notabene merupakan bagian ajaran agama islam. Karena
itulah Umar menetapkan talak tiga sekaligus jatuh tiga pula agar masyarakat
jangan suka mempermainkan talak. Hal ini menunjukkan bahwa Umar dalam melakukan
ijtihadnya selalu diiringi dengan tujuan dari syari’at itu sendiri.
Sepintas memang kelihatan ijtihad-ijtihad Umar
seakan-akan bertentangan (kontradiksi) dengan ketentuan-ketentuan al-Quran dan
hadis, namun kalau dikaji sifat
hakikatnya dalam kerangka hukum islam keseluruhannya (Maqâsid al-Syari’ah)
maka ijtihad-ijtihad yang dilakukan Umar ibn al-Khattab tersebut tidak
bertentangan dengan maksud tujuan syari’at itu sendiri.
Sebenarnya banyak sekali ijtihad-ijtihad Umar
dalam pemikiran hukum islam. Bukan hanya sebatas tiga hal tersebut sebagaimana
yang penulis rangkum. Ijtihad-ijtihad tersebut banyak sekali baik dalam bidang
politik, ekonomi, hukum dll. Namun penulis hanya mencukupkan beberapa saja. Wallahua’lam
bis Shawwab.
Penulis adalah Alumni Madrasah Aliyah Ma’ahid
Kudus dan Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Putra Yogyakarta.
Post a Comment for "Ijtihad Umar Ibn Khattab: Studi Maqâshid al-Syarî’ah"