Review Buku “Musllimlah dari pada LIBERAL (Catatan Perjalanan di Inggris)
Review
Buku “Musllimlah dari pada LIBERAL
(Catatan Perjalanan di Inggris)
Pengarang : Adian Husaini.
Penerbit : Sinergi Publishing.
Tahun
Terbit : Agustus 2010.
Oleh:
Ziyadul Muttaqin
Buku ini merupakan salah satu karya Dr. Adian Husaini. Beliau merupakan
salah satu dari tokoh dan promotor di INSIST, juga dosen di Ibnu Khaldun.
Banyak sekali buku beliau yang sudah di terbitkan oleh berbagai penerbit,
diantaranya adalah buku ini. Ketika saya membaca buku ini, di awal buku saya
mendapatkan sebuah kalimat yang cukup untuk memotivasi sekaligus menantang
saya. “A journalist never dies”-Seorang wartawan tidak akan pernah mati.
Tentu saja ini hanyalah ungkapan simbolik. Ungkapan ini mau menunjukkan bahwa
seorang jurnalis/wartawan selalu mempunyai ide-ide cemerlang dan kreatif bahkan
ide gila sekalipun. Ia akan selalu menulis apa yang ia rasakan, ia lihat, ia
dengar bahkan ia bayangkan sekalipun. Hal ini karena naluri jurnalistiknya
tetap melekat dalam dirinya. Saya kira pandangan seperti ini harus di gerakkan
dan di geliatkan untuk kalangan muda. Terutama para mahasiswa perguruan tinggi.
Dalam buku ini beliau mengomentari perihal kondisi kaum muslimin di
indonesia dan di inggris. Kaum muslimin di Indonesia kebanyakan masih
termarjinalkan. Kenapa? Karena muslim di indonesia ternyata baru pengguna ide.
Kita user dari orang lain. Kita belum menjadi produser ide atau inisiator. Kita
belum mempunyai universitas sekelas azhar. Sedangkan di Inggris ada tantangan
tersendiri mengenai liberalisme yang memang gudangnya. Menurut hemat saya, memang
seperti itulah realitasnya di indonesia. Akan tetapi di setiap zaman pasti ada
masa yang namanya masa redup dan masa cemerlang. Dan semoga kita di Indonesia
hanya mengalami masa redup itu sebentar dan kembali menyelami masa
cemerlang. Dalam buku ini juga beliau
membahas mengenai beberapa masalah, diantaranya:
Atheisme
Maslah atheisme sangat menarik untuk di kupas. Atheisme yang dikembangkan
saat ini bukan hanya “tidak mengakui adanya tuhan” tetapi juga menyingkirkan
peran tuhan dalam kehidupan. Dalam dunia modern, Tuhan dianggap sebagi penghalang
kebebasan dan kenikmatan hidup manusia. Dlam bukunya, Histori of God (1993:
378), karen Amstrong mengutip ucapan filosof terkenal asal prancis, Jean-Paul
Sartre (1905-1980), bahwa “even if God existed, it willl still necessary to
reject him, since the idea of God negates our freedom” –jadi katanya,
walupun Tuhan itu eksis, tetap harus di tolak. Sebab pikiran tentang Tuhan itu
membunuh kebebasan kita-. Sebenarnya manusia dengan akalnya bisa menemukan
adanya Tuhan dan menemukan Tuhan yang satu. Aristotle dengan akalnya ia bisa
menemukan adanya Tuhan. Seorang pengusaha agri-bisnis dari jepang pernah
bercerita kepada saya bahwa ia menemukan Tuhan ketika mengamati tomat, kedelai
adn sebagainya. Tetapi dengan hanya akalnya semata manusia tidak akan pernah mengenal
akan Tuhan yang satu itu, bagaimana sifat-sifatnya, siapa namanya dan bagaimana
cara menyembahnya. Untuk itulah Tuhan yang satu mengutus Rasul-rasulnya dan
menyampaikan masalah-masalahnya. Kalau soal keberadaan tuahan, maka manusia
yang waras dan mau menggunakan akalnya akan sulit menolak. Orang yang akalnya
sangat sederhana pun bisa memehami bahwa kotoran kucing berarti menunjukkan
adanya kucing meskipun ia tidak melihat kucing. Saya contohkan jika orang
menyatakan bahwa Tuhan tidak ada maka sebenarnya sama saja ia menyatakan bahwa Tuhan
itu tidak ada. Maka sebenarnya ia sama saja menyatakan bahwa di kota london di
masa lalu ada tumpukan semen, batu bata, pasir, potongan-potongan besi dan
sebagainya lalu terjadilah badai yang hebat dan kemudiaan menjadi bangunan
parlemen inggris lengkap dangan menara big ben-nya.
Padahal alam semesta ini sangat teratur. Adanya alam yang sangat teratur
menunjukkan adanya yang mengatur. Tidak mungkin alam ini tercipta dengan
sendirinya. Lihatlah DNA dan sidik jari milyaran manusia. Tidak ada satupun
manusia yang DNA dan sidik jarinya sama dengan orang lain. Siapa yang mengatur
semua in?. Tentu ada yang mengatur. Ialah Allah swt, satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah.
Problem Demokrasi
Demokrasi menurut pandangan orang barat yakni kedaulatan berada di tangan
rakyat dan suara rakyat adalah suara Tuhan
(vox populi vox dei). Ada pula yang menolak secara mentah-mentah dan
meyatakan bahwa demokrasi sebagai sistem kufur. Saya mencoba mendudukkan
demokrasi pada tempatnya. Memang konsep islam dalam soal kebenaran tidak sama
dengan konsep kebenaran yang didasarkan pada suara mayoritas.
Problem Bahasa
Pada era ini banyak terjadi proses take and give antar peradaban
yang senantiasa akan berlangsung dengan dinamis. Dalam hal ini perlu satu
pemahaman yang mendasar tentang islamic
worlview dan strategi tepat dalam pengambilan suatu istilah asing. Dalam
posisi sebagai perdaban yang “underdog” terhadap perdaban barat, kaum
muslimin di tuntut untuk berhati-hati dalam pengambilan istilah-istilah asing.
Membanjirnya istilah-istilah asing kedalam kosa kata kaum muslim seperti
pluralisme, inklusivisme, multikulturalisme, kesetaraan gender dan sebagainya
telah meyebabkan apa yang disebut oleh prof. Naquib al-Attas sebagai “de-islamization
of lenguage”, yakni proses islamisasi bahasa. Rusaknya bahasa dapat
berdampak sangat luas dan besar terhadap pemikiran kaum muslimin sebab mereka
memahami agamanya dari bahasa. Jika bahasanya sudah rusak, maka mereka
kehilangan jalan untuk memahami agamanya dengan benar.
Beliau banyak mengomentari mengenai kondisi keagamaan di inggris. Salah
satunya mengenai semangat keberagamaan mereka. Beliau mencatat bahwa walaupun
di inggris merupakan tempatnya paham leberalisme agama, tapi masih ada
orang-orang yang mempunyai semangat yang tinggi dalam berpegang teguh. Tidak
setiap yang tinggal di situ harus berpaham liberal walaupun lingkungannya
sangat mendukung untuk berpaham demikian.
Mantap juga ya ternyata. hehe
ReplyDeleteAlhamdulillah..artikel ini saya sebut perjalanan menghabisi buku. hehe. Karena buku udah lama di atas kasur belum selesai-selesai di baca.
ReplyDelete