Ulama Dulu Vs Ulama Sekarang dalam Pandangan Tokoh Muhammadiyah
Indonesia adalah mayoritas
penduduknya beragama Islam. Untuk mengelola penduduk Indonesia yang banyak
beragama Islam tersebut harus membutuhkan pemimpin-pemimpin yang berkolaborasi
dengan ulama. Artinya secara idealnya pemimpin tersebut harus berjiwa ulama. Tanpa
ulama maka tidak akan ada penyambung wahyu Allah yang tersalurkan. Sehingga
dengan tidak adanya ulama maka tali penyambung antara masyarakat dengan wahyu
Allah akan terputus. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya bila saya
ibaratkan kebutuhan akan ulama hampir sebanding dengan kebutuhan manusia akan
makanan.
Berbicara
mengenai ulama khususnya di Indonesia maka kita akan mengetahui bahwa
ulama-ulama yang ada di Indonesia semakin hari semakin terkikis. Dalam artian
ulama yang benar-benar faqih dan memenuhi kualifikasi seorang ulama dengan
pandangan tertentu. Bukan ulama yang berlabel ‘ustadz/dai’ buatan media (baca:
TV). Kekurangan ulama yang ada di Indonesia benar-benar mengarah kepada krisis
ulama yang mulai menghawatirkan. Sehingga beberapa lembaga ataupun
organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia berinisiatif untuk membuat
sebuah lembaga yang berfungsi sebagai pengkaderan ulama Indonesia.
Berbicara
mengenai ulama, akan terlihat perbedaan yang harus menjadi perhatian bersama
antara ulama dahulu dengan ulama sekarang. Ulama dalam pengertian dahulu adalah
seorang yang bisa membaca kitab kuning. Artinya ulama adalah seseorang yang
belajar di pesantren-pesantren yang di sana berkutat pada pengkajian
kitab-kitab kuning (turats) semata. Bisa dikatakan bahwa ketika ulama
tersebut tidak membaca kitab kuning maka dia bukan ulama.
Berbeda
dengan pengertian ulama pada zaman sekarang. Dengan adanya globalisasi termasuk
pemikiran-pemikiran yang ada di dalam maupun di luar Islam menjadi tanpa batas.
Sehingga pemikiran-pemikiran tersebut mengglobal dan mempengaruhi pemikiran
Islam yang berakibat pada rusaknya syariah Islam. Dengan adanya
pemikiran-pemikiran dari luar tersebut, tidak sedikit pemikiran yang ‘nyeleneh’
yang merusak bahkan menghancurkan Islam secara perlahan. Dengan datangnya
pemikiran-pemikiran tersebut maka perlu adanya seseorang atau kelompok-kelompok
yang mengcaunter arus pemikiran global tersebut.
Untuk
dapat mengcaunter pemikiran-pemikiran Islam yang kekirian tersebut maka diperlukan
ulama-ulama yang memang ekspert dibidangnya. Sehingga konsep ulama
terdahulu yang hanya berkutat pada kajian kitab-kitab kuning semata dipandang
kurang cukup untuk bisa membendung arus pemikiran kekirian yang sudah
menghegemoni. Menurut ketua Majlis Tarjih PP Muhammadiyah Prof. Dr. H. Syamsul
Anwar, MA dalam acara Halaqah Nasional Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
yang diselenggarakan pada 19-20/02/2015 kemarin bertempat di gedung AR A
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bahwa setidaknya kriteria dan kwalifikasi
ulama yang diperlukan pada era sekarang adalah sebagai berikut:
a.
Menguasai
bahasa arab sekaligus cabang-cabangnya dan ilmu-ilmu ushul. Artinya seorang
ulama harus mempunyai kemampuan memahami bahasa arab baik berbicara, membaca
maupun menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Untuk dapat menguasai bahasa
arab dengan baik dan benar tersebut maka harus diperkuat dengan ilmu-ilmu
metodologi untuk menguasainya, seperti ilmu nahwu, shorof, ilmu balaghah, badi’,
bayan dan lain-lain. Kemampuan bahasa arab tersebut digunakan sebagai sarana
untuk menggali ilmu-ilmu yang lain. Ilmu-ilmu ushul yang paling penting adalah
ilmu ushul fikih, ushul hadis, ushul tafsir dan fikih. Ilmu-ilmu ini digunakan
untuk menelusuri dan memahami ayat-ayat al-Quran maupun hadis.
b.
Menguasai
Bahasa Inggris. Mengapa bahasa Inggris? Karena bahasa inggris sekarang menjadi
bahasa internasional dan berawal dari sinilah pemikiran-pemikiran yang
sekulerisme, liberalisme dan lain-lain muncul. Untuk mengcaunter
pemikiran-pemikiran tersebut yang menghancurkan Islam secara terstruktur maka
seorang kader ulama dituntut harus menguasai bahasa inggris sebagai bahasa ilmu
pengetahuan dan pemikiran kontemporer. Dengan menguasai bahasa inggris tersebut
maka akan bisa untuk memahami pemikiran-‘nyeleneh’ tersebut dan menangkisnya.
c.
Penguasaan
ilmu falak. Menurut Prof. Dr. Saymsul Anwar, MA ilmu falak adalah ilmu yang
sangat penting. Hal ini karena ilmu falak terkait langsung dengan
masalah-masalah agama yang prinsip seperti sholat, puasa, haji. Sedangkan
waktu-waktu pelaksanaan sholat misalnya menuntut adanya ketepatan waktu. Untuk
meluruskan secara tepat waktu-waktu pelaksanaan sholat, puasa, haji tersebut
maka seorang ulama harus mempelajari ilmu falak sebagai ilmu yang bersinggungan
langsung dengan waktu-waktu ibadah secara khusus berhubungan dengan ibadah yang
prinsip.
Dengan
kriteria dan kualifikasi ulama yang disampaikan oleh Prof. Dr. Saymsul Anwar,
Ma tersebut maka tugas berat seorang ulama pada zaman sekarang menjadi tugas
yang sangat berat. Tidak hanya dituntut untuk menguasai dan pandai membaca
kitab-kitab kuning tetapi juga pandai membaca dan memahami kitab-kitab putih
serta ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan.
Post a Comment for "Ulama Dulu Vs Ulama Sekarang dalam Pandangan Tokoh Muhammadiyah"